Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Zulkifli Hasan, Antara Kritikan dan Kenyataan

17 Agustus 2018   15:00 Diperbarui: 18 Agustus 2018   19:20 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, dalam sambutan sidang tahunan MPR, ketua MPR, Zulkifli Hasan menyatakan ada titipan dari emak-emak untuk pemerintah, dalam hal ini presiden tentunya, mengenai gejolak harga, paling tidak itu yang terdengar dan terbaca dalam pemberitaan.

Dalam salah satu media, dinyatakan ada tiga poin soal kesenjangan, mengenai stabilitas dan defisit transaksi berjalan, serta mengenai pengelolaan utang. Karena bukan pakar ekonomi dan tidak paham akan hal itu, namun melihat apa yang dinyatakan adalah pesan emak-emak, bukan pula emak-emak, jadinya melihat dari sisi yang lain.

Boleh, sah, dan tidak ada yang sepenuhnya salah sebenarnya ketika berbicara demikian. apalagi berkaitan dengan pilpres. Apalagi juga sebenarnya pengin juga, apa daya tidak cukup menjual dan tidak juga cukup menjanjikan dari sisi lain. Akhirnya menggunakan  momen bahagia untuk memberikan kritikan yang tidak proporsional demikian.

Jika dibandingkan kinerja pemerintah, apa sih kerja MPR dengan gaji dan tunjangan yang ada. Nol besar iya. Ke mana-mana atas nama sosialisasi empat pilar masa lalu itu pun jauh lebih banyak menjual diri dan sosialisasi pencapresannya sendiri. Hasilnya sama sekali tidak ada.

Coba membuat terobosan, membuat apalah yang menjadi monumen bersejarah. Misalnya, GBHN, Repelita dan pelita dengan nama yang berbeda tentunya. Membangun budaya santun bukan semata klaim namun perilaku.

Budaya MPR yang berbeda, misalnya, mau memberikan pembuktian terbalik harta kekayaan mereka. Begitu banyak ide dan wacana yang bisa digulirkan sebenarnya, bukan hanya itu-itu saja. Ke mana-mana membawa empat pilar itu pun warisan almarhum Taufik Kiemas.

Apalagi jika berbicara partainya. Haduh apa ada yang bisa dibanggakan dari partai yang katanya amanat nasional itu? Deretan koruptor dengan segala dalihnya itu. Gaji kecilah, perlu dipahami  dengan  berbagai-bagai argumen yang ujung---ujungnya tidak bermutu.

Lebih parah lagi jika berkaitan dengan keluarga besarnya. Ada tiga saudara kandungnya yang terseret kasus hukum dan itu semua berkaitan dengan keuangan. Jadi apa yang ia lontarkaan sebenarnya main air terpercik muka sendiri, kalau masih memiliki muka. Berbeda jika masuk ranah hukum karena kasus lain, ini semua berkaitan dengan keuangan.

Perilaku dan gaya hidup mereka pun bukan sederhana, jadi bisa mengatakan soal keungan negara jika mereka pun berpola hidup sederhana, biasa, dan menjadi pengusaha pun yang sewajarnya tidak melakukan dan menggunakan proyek pemerintah di dalam usahanya.

Kerabatnya yang berkaitan dengan kasus keuangan,

Zaenudin Hasan, bupati Lampung Selatan, yang terkena OTT KPK dengan uang Rp. 700 juta, memiliki kekayaan 13 M. Coba jika saja harta itu benar-benar disyukuri, tidak perlu ada OTT KPK, dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat yang ia pimpin. Atau malah 13 M itu hasil "upeti"? lebih menyakitkan lagi penggunaan uang untuk pengajian. Lihat pengunaan kegiatan keagamaan namun untuk menimbul uang suap? Apa ya pantes? Apa tidak yang namanya menodai agama itu seperti ini, agama digunakan untuk menyembunyikan kejahatan.

M. Hazizi, DPRD Lampung. Penipuan setoran proyek. Penyelenggara negara di daerah pula. Memiliki jabatan, bukan ornag biasa yang akan tercekik kalau tidak bekerja, masih juga maling. Dipastikan juga hidupnya tidak akan kekurangan, apalagi ribut soal membeli telor yang harganya naik itu, mana tahu termasuk istrinya. Tidak akan terasa mau naik sepuluh kali lipat pun.

Helmi Hasan, walikota Bengkulu. meskipun menang dalam praperadilan atas kasus sangkaan penggelapan bansos sejumlah  11,4 M, namun kembali pejabat publik.  Yang dijadikan bahan untuk membawanya ke depan meja hijau pun dana bantuan sosial. Bantuan sosial yang dimaksudkan jelas untuk membantu orang yang sedang berkesusahan. Bisa karena kemiskinan, bencana, atau sejenisnya, eh malah ditilep. Soal menang praperadilan toh sama-sama bisa ditelaah.

Pejabat publik itu memiliki pengaruh. Ketika memberikan pernyataan, mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi bangsa itu lebih baik jika diperlengkapi data dan fakta yang baik dan benar. Bagaimana bisa mengatakan berbusa-busa dan menuding pihak lain sebagai gagal, sedangkan diri sendiri dan lingkaran terdekat, parpol dan keluarganya belepotan dengan kotoran seperti itu.

Jangan katakan itu urusan pribadi dan tidak ada kaitannya dengan jabatan. Jelas berkaitan dengan jabatan karena menyangkut keuangan dan itu bisa diperoleh karena jabatannya. Jika tidak ada jabatan itu, uang itu tidak akan bisa diperoleh.

Apa yang terjadi itu mengenai tabiat tamak dan menuding karena keadaan terdesak makin susahnya kembali memenuhi hasrat tamaknya. Syukur bahwa model orang demikian sudah tereliminasi dari percaturan pilpres. Seperti apa akhirnya jika model demikian menjadi presiden atau wakil presiden.

Lebih miris lagi, seolah hal itu dianggap biasa saja, prestasi atau kritis, padahal sama sekali tidak didasari oleh kebenaran yang ia yakini sendiri dengan baik sebagai kebenaran.  Akan ada pernyataan, namanya juga politikus. Apakah iya akan selalu dipenuhi dengan politikus tamak dan jauh dari integritas baik seperti itu? Masih jauh dari satunya kata dan perbuatan.

Acungan jempol jika mengatakn itu dan menyatakan, karena negara defisit dan hutang menumpuk, setahun ke depan, gaji dan tunjangan saya tidak saya ambil, saya serahkan kepada negara, itu baru keren. Hanya omong tanpa dasar saja buat apa.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun