Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kotak Kosong dan "Oposisi" Setengah Hati, Apa Kabar Demokrasi?

14 Agustus 2018   08:00 Diperbarui: 15 Agustus 2018   04:35 1768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu pilkada serentak 2018 telah berlangsung. Bisa dikatakan baik dan lancar, memang ada hal yang cukup lucu dan ironis, dengan beberapa ada yang melawan kotak kosong, dan salah satunya kalah menghadapi kotak kosong itu. 

Mekanismenya memang ada dalam UU, bukan itu yang mau dilihat tentunya. Hal yang sebenarnya sudah juga terjadi dengan drama di Surabaya dan Pacitan pada periode sebelumnya. Terlalu kuatnya incumbent, membuat partai politik enggan menyodorkan kadernya.

Kadang lebih miris lagi, khusus pilkada, saking "takutnya" menghadapi jawara bertahan, semua parpol ngumpul jadi satu. Sebenarnya boleh-boleh saja, dan sah jika memang pembangunannya itu berjalan dengan gilang-gemilang dalam banyak hal. 

Jika pemerintahannya biasa-biasa saja, pembangunannya juga masih banyak bolong-bolong, apa iya, segitu suksesnya pimpinan itu sehingga semua partai politik mengusung dan mendukungnya?

Kecenderungan partai politik yang hanya mau kursi kepala daerah pun kepala negara, membuat mereka mencari aman, bergabung pada sosok atau calon yang tenar, besar, dan memiliki keterpilihan yang baik. Padahal sepanjang perjalanan pemerintahan toh mereka juga berkata miring.

Hal ini terjadi karena:

Pertama, orientasi itu kursi dan kekuasaan, bukan untuk bangsa atau daerah menjadi lebih baik. Hal ini jauh lebih mengemuka dan menjadi gejala umum. Mereka tidak mau kalah bahkan sebelum bertanding pun mereka enggan. Ingat di Surabaya, sudah sampai KPU lari tinggal glanggang colong playu. Karena merasa tidak akan menang.

Kedua, mental maunya menang tidak mau kalah, siap menang tapi takut kalah, balik saja jadi anak kecil yang harus menang. Sikap ini ternyata masih menjadi panglima bagi politikus dan partai politik, tidak heran mereka pokoknya usung orang entah benar entah tidak, yang jelas tenar, punya banyak uang, dan bisa memikat pemilih. Urusan perilaku, moral, bahkan koruptor sekalipun tidak menjadi pertimbangan.

Ketiga, ini masalah lebih besar, mengenai demokrasi dan sistem pemerintahan yang tidak jelas. Jika memang presidential, mengapa dewan demikian dominan, bahkan pemerintahan bisa "tersandera" oleh dewan? ini yang seharusnya dibenahi dengan kesadaran penuh sebagai anak bangsa, bukan demi kekuasaan semata. Benar bahwa dewan yang kuat sebagai kontrol atas perilaku totaliter masa lalu, namun tentu bukan menjadi pembenar perilaku sandera-menyandera ala dewan selama ini. Daerah pun ternyata melakukan hal yang sama.

Keempat, perlu adanya "pemaksaan" parpol untuk mengusung calon sendiri, tidak bisa semua parpol bergabung kemudian melawan kotak kosong, karena rakyat di darah yang dirugikan. Jangan mengatakan atas nama demokrasi atas nama HAM kemudian satu calon yang diusung semua parpol namun setengah hati itu akhirnya "dikerjain" dan  kalah. Rakyat  harus menunggu dua tahun untuk memiliki kepala daerah definitif.  Pemilu kada lagi, ini juga tidak efektif. Era modern itu efektif dan efisien bukan malah pemborosan dan berlarut-larut.

Kelima, penyederhanaan parpol sangat mendesak dilakukan, dengan melihat sangat tidak efektifnya parpol yang ada. Toh ideologi juga tidak ada bedanya selama ini. Tga hingga lima parpol sangat ideal dan jauh lebih efektif bagi hidup bersama. Akan dijawab dan dalih demokrasi lagi, dan jawaban yang sama, demokrasi itu pun bukan bebas sebebas-bebasnya, tetap ada batasan. Kalau demikian terus menerus akan lahir ketidakstabilan terus-menerus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun