Polisi dan peran test psikologi, kalau tidak salah ingat sudah dua kali ini saya ulas. Kali ini berangkat dari tiga kasus perwira menengah yang melakukan kekerasan, bahkan hingga pembunuhan, dan kisah agak lama mengenai kekerasan senioritas di Akademi Kepolisian. Menariknya adalah pada sisi lain, humanisme polisi dituntut sangat tinggi, bahkan tidak jarang di lapangan sering menjadi bulan-bulanan, bahkan oleh emak-emak. Sangat susah dipahami memang, betapa kompleknya yang harus dihadapi, dan ini bisa menjadi biang stres yang berujung pada kekerasan dan pembunuhan bahkan.
Kisah pertama, seolah wakapolres yang tanpa alasan jelas, tiba-tiba menembak iparnya begitu saja. Memang telah ada rentetan panjang  pastinya, baik laporan atau sikap korban. Dengan jabatan dan pangkat itu sebenarnya, emosi dan kejiwaan sudah mulai matang dan tidak akan main senjata, pada orang terdekat, jarak sangat dekat, bukan penjahat yang memang "boleh" ditembak lagi. Emosional dan pengendalian diri.
Kedua, seorang perwira menengah yang mengajar para penjaga pos gara-gara mobil yang ditumpanginya berpapasan dengan mobil yang akan keluar kompleks di mana ia memimpin. Entah alasannya apa tiba-tiba karena merasa mobilnya terhambat ngamuk dan helm mengenai kepala para penjaga. Mungkin sakit perut yang sudah amat sangat jadi marah ketika mobilnya terhalang. Kembali soal kejiwaan dan emosional yang berlebihan saya kira.
Ketiga, terbaru seorang perwira menengah, melakukan penganiayaan pada terduga pencuri yang sudah memohon ampun, perempuan lagi, dan naasnya ada yang merekam. Mengenakan kaos seragam kepolisian, namun mengurus pencurian di toko miliknya. Artinya bukan kewenangannya melakukan interogasi yang membuatnya tersulut emosi atas sikap si ibu yang diduga mencuri tersebut. Berlebihan dan sikap emosional yang tidak patut.
Keempat, sangat lama juga, di pendidikan senior mengantam perut adik kelas hanya karena penampilan adik tingkat itu buruk di dalam memainkan alat musik. Perut dihantam dengan dua telapak tangan terkepal dan terkapar hingga meninggal. Kekerasan yang sangat tidak patut, hanya maslah sepele, senioritas, subyektifisme, dan sejenisnya.
Padahal sangat miris jika berhadapan dengan polisi di lapangan yang sangat biasa akan diteriaki hewan berkaki empat, terkadang yang dimakii itu sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun. Atau digigit emak-emak yang emosi karena tidak mau ditilang. Dan banyak lagi perilaku kekerasan baik verbal atau fisik yang mereka alami.
Memang jauh lebih baik perilaku, arogansi, dan kesewenangan polisi di era reformasi ini, bahkan kadang kelewatan, sehingga malah menjadi bahan ledekan dan tidak didengar dan ditaati oleh pengguna jalan, paling jelas adalah polisi lalu lintas karena berhadapan langsung dengan masyarakat.  Namun masih ada  memang arogansi beberapa pihak. Tiga perwira tersebut memang tidak mewakili keberadaan polisi secara lembaga, namun patut menjadi perhatian.
Sikap arogan atas seragam. Hal ini jelas karena mental kolonial dan sikap inferior rakyat jika berhadapan dengan aparat. Jangan kaget anak-anak masih ditakut-takuti polisi jika rewel, tujuh belasan orang masih suka bergaya menjadi polisi dan militer, dan profesi militer dan polisi masih sangat membanggakan dan menggurkan. Lihat penipuan dengan atribut ini betapa mudahnya mendapatkan korban. Â Tabiat bangsa yang katanya modern namun masih takut dengan bayang-bayang penjajah ya ini akibatnya.
Penegakan hukum yang selalu diselesaikan secara intern dan belum tentu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, membuat perilaku mereka sewenang-wenang, merasa diri menjadi penegak hukum, namun abaik akan adanya tugas dari penegak hukum lainnya.Â
Main hakim sendiri dan  seolah adalah satu-satunya penegak hukum itu adalah masalah. Sangat bisa terjadi karena penyelesaian di dalam selama ini melempem, entah karena uang, kedekatan personal, atau apapun itu, jelas bahwa ada yang salah dalam lembaga itu sendiri.
Peran test psikologi dalam seleksi. Susah juga karena seleksi di kepolisian sekian lamanya sama sama tahu, seperti apa. Jadi tidak heran ketika mendapatkan tekanan tidak bisa menyelesaikan namun meledak pada porsi dan posisi yang tidak semestinya. Â Muara kekerasan demi kekerasan karena sejak awal memang sudah ada masalah. Perlu perhatian, meskipun ada perubahan dalam seleksi dan organisasi, Â namun yang sudah berjalan tetap saja masih membawa masalah dari model masa lalu.
Pembinaan terus menerus, termasuk untuk mengadakan refresing sangat diperlukan. Bagaimana tekanan pekerjaan yang terus menerus tanpa adannya penyaluran yang baik, akan merusak pribadi dan juga lembaga. Melihat wajah-wajah letih, tertekan, dan tegang, memperlihatkan mereka kurang bisa menyelesaikan dan mengatasi tekanan, belum lagi jika berbicara masalah keluarga.Â
Hal yang sangat mendesak untuk mendapatkan perhatian. Mungkin soal gaji dan kesejahteraan jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu, namun soal tekanan jangan bandingkan, dan ini bisa saja menjadi salah satu sebab mudahnya tersulut emosi.
Persaingan di dalam jenjang karir juga membuat stres makin besar. Hal yang sangat wajar ketika lulusan tidak sebanding dengan kebutuhan, belum lagi birokrasi era lalu-lalu yang erat dengan uang. Tidak heran bahwa level perwira menengah sangat krusial, tekanan dari atasan menekan bawahan memiliki model pembinaan dan pendidikan yang berbeda. Mau naik pangkat berbeda cara dan pola lama. Ini bisa juga menjadi salah satu pemicu yang besar.
Tiga kisah tersebut memang kecil jika dibandingkan dengan lembaga kepolisian, namun bisa menjadi perhatian bersama bahwa ada masalah yang perlu diselesaikan. Perhatian Kapolri memang penting dan sangat tepat pada dua kejadian tersebut. Jangan sampai ketiga peristiwa  ini adalah fenomena gunung es.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H