Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah dan Perilaku Tidak Mendidik

4 Juli 2018   15:00 Diperbarui: 4 Juli 2018   15:00 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah dan perilaku tidak mendidik sering terdengar, khusunya berkaitan dengan penerimaan siswa baru, tahun ajaran baru, pun proses belajar mengajar, hingga kelulusan.  Pendidikan sejatinya bukan semata mencari nilai dalam arti A, B, C atau 60, 70, dan seterusnya. Namun lebih dalam lagi adalah soal sifat yang penting dan berguna bagi kehidupan ataupun sesuatu yang menyempurnakan (KBBI).

Sering orang berorientasi pada angka, kadar, harga, A, B, dan seterusnya itu. Jika demikian, orang bisa memotong kompas, menggunakan segala cara, dan abai akan nilai yang mendasar, sebagai soal sifat yang penting dan berguna bagi kehidupan malah tersingkir, atau tidak disadari.

Orang tua antri sejak malam demi sekolah favorit, bahkan ada demi bangku strategis bagi buah hatinya.  Baik dan memang harus bahwa memberikan yang terbaik bagi anak, namun apa iya, sekolah favorit harus berjuang antri dari malam sebelumnya. Demi bangku strategis, orang tua rela dini hari menanti di gerbang dan nantinya bisa mendapatkan bangku terbaik. Level sekolah dasar, jika menengah, biasanya uang suap demi masuk sekolah favorit.

Hal yang jauh dari esensi pendidikan sebenarnya. Soal bangku,  KBM itu guru yang menjadi fasilitator, menentukan bangku dan siapa duduk di sana, bisa digiir, coba untuk apa kebiasaan datang dini hari untuk itu. 

Favoritisasi sekolah pun setali tiga uang, memang menjamin kualitas pendidikan personal dengan masuk sekolah favorit, apalagi jika dengan menyuap? Jangan sampai hal salah kaprah demikian membawa korban lagi, ingat anak yang bunuh diri di Blitar beberapa waktu lalu. Boleh orang tua menyekolahkan anak di sekolah terbaik, favorit, atau apalah namanya, namun pendidikan dan esensinya jangan diabaikan.

Proses belajar mengajar juga sering abai akan hakikat pendidikan. Bagaimana mengedepankan kebebasan dan tanpa kekerasan, namun abai akan disiplin diri dan sikap bertanggung jawab.  Sering sekolah gamang bahkan takut untuk mendisiplinkan siswa karena takut polisi dan komnas HAM. Padahal esensi pendidikan itu ada pendisiplinan, ada kadang pemaksaan untuk hal-hal tertentu. Memang bahwa kekerasan tidak boleh, tapi itu kan dunia  ideal, padahal peserta didik tidak sepenuhnya ideal.

Kejujuran, nilai yang sering diabaikan karena mengejar kelulusan 100% dengan nilai rata-rata tujuh (7) sebagaimana beberapa tahun lalu. Penghargaan dengan nilai uang dan label prestisius, membuat sekolah bisa melakukan apa saja dan menggunakan segala  cara, termasuk tidak jujur. Padahal salah satu hal yang esensial dalam pendidikan adalah kejujuran. Sikap menerima apa adanya, konsekuensi yang sering hendak dihilangkan.

Ketua rayon dengan enteng mengatakan, mengawasi jangan ketat-ketat, yang kita jaga itu anak kita sendiri. Ndasmu peank, justru anak sendiri jangan diberi racun kecurangan. Ini soal tabiat bangsa yang masuk dunia pendidikan, politis pun melingkupi dunia pendidikan. Target muluk yang tidak esensial sering membuat kacau.

Takut media bukan dosa  dan kejahatan.  Seorang rekan mengawasi UN di sebuah sekolah, karena curiga anak sering bergerombol di suatu tempat, ia ikutan, ternyata sedang melihat lembar jawaban yang ditempel pihak sekolah. Anak-anak ditegur, lapor kepala sekolah. Kepsek yang mendapatkan laporan siswanya memanggil pengawas tersebut. Jangan sampai ke media, pesannya. 

Lihat bagaimana guru bukan memberikan teladan malah menyembunyikan kejahatan hanya dari media, bukan nuraninya, apalagi Tuhannya. Kejahatan terstruktur, menyontek saja sudah kejahatan, lha ini malah kejahatan yang diskenariokan, bahkan dirancang, dan dilindungi justru oleh pihak yang seharusnya meniadakan potensi kejahatan sekalipun. 

Ketika menyontek itu seolah menjadi budaya, merasa tidak lagi sebuah dosa dan kejahatan, runtuhlah pendidikan. Pendidikan sekadar mencari julah nilai di atas kertas bukan nilai kehidupan yang semestinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun