Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kartu Merah Ronaldo dan Persepakbolaan Asia

27 Juni 2018   07:33 Diperbarui: 27 Juni 2018   07:38 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartu merah Ronaldo yang tidak jadi diberikan tentu bukan soal spotivitas atau peraturan pertandingan bola. Soal industri, penonton, dan kepentingan bisnis dan sponsor ikut terlibat. Bisa dibayangkan jika yang melakukan sikutan itu pemain dari dunia ketiga sepakbola, seperti dari peru, Mesir, Jepang, atau Korea Selatan pada CR7 atau Messi, apakah wasit perlu menggunakan VAR, yang kemudian gamang dan hanya kartu kuning?

Tanpa adanya bola, tidak ada tekanan pemain lawan, sikut melayang jika dilakukan pemain Iran, hampir pasti akan langsung mendapatkan kartu. Padahal jika peraturan benar sportif dan adil, jalannya pertandingan bisa berbeda jauh. 

Portugal yang sangat mengandalkan CR7 bisa seolah ayam kehilangan induk. Iran yang jerih dengan nama besar pemain itu bisa berlipat keberanian dan semangatnya. Toh hasilnya tetap Iran keluar dari fase grup.

Jika Iran yang menang, jelas Portugall tersisih. Susah bicara ini demi Eropa atau Asia sebagai imperialis atau dunia maju dan belum, cenderung soal menjual. Ekonomi bisnis saja yang lebih mengemuka. Membayangkan penonton Urugay vs Iran jelas tidak akan sepada dengan Uruguay Portugal dengan CR7 tampil tentunya.

Susah membuktikan kalau penyelenggara memiliki kebijakan lebih memilih Portugal dari pada Iran tentunya. Hasil akhir akan selalu menjadi dalih mereka, toh hasilnya demikian, soal keputusan dan sejenisnya tentu sangat subyektif untuk bisa menjadi alasan.

Asia susah untuk bicara sepak bola dalam kancah piala dunia. Penggembira saja, paling banter juga 16 besar, pun seperti geledek di musim kemarau. Eropa dan Amerika Latin yang menjadi langganan. Afrika pemainnya yang merajai Eropa pun hanya sejenak di level gugur dan kembali sekali lagi hanya penggembira dan harapan sesaat.

Susah bersaing dengan Eropa dan Brasil-Argentina, jika selalu demikian. Mau beranjak toh tidak menarik bagi media, sponsor, dan sebagainya, bagaimana mau maju coba jika mau maju sudah dihalangi, penyelenggara tidak mau rugi. Susah karena piala dunia bukan lagi laga olah raga sepenuhnya, namun lebih beraroma industri dan uang yang berbicara.

Semakin banyak kontroversial namun melibatkan nama besar dan tim mapan, tetap melaju. Soal dunia ketiga itu derita kalian.  Apa iya, permainan Iran itu tidak menjanjikan, memang mereka tidak punya magnet sebesar Messi, Ronaldo, minimal Salah. Kesempatan setara itu sebenarnya penting, lepas dari laku atau tidak.

Asia, perlu bersikap dengan melihat banyak kejadian yang subyektif memang berbicara, soal keberadaan seolah hanya pelengkap. Jangan lupa Eropa dengan klubnya membutuhkan Asia sebagai pasar. Penjualan hak siar, kaos, souvenir, dan sejenisnya itu Asia. Asia memiliki modal lain untuk bisa berbicara lebih keras untuk menyuarakan keberadaan yang paling tidak lebih baik.

Jatah tim atau negara pun sudah berkurang dengan adanya Australia. Nah masih saja maju pun seolah ada tangan tak kasat mata, VAR-pun tidak akan mampu menjangkau, untuk tidak melibatkan lebih jauh tim Asia maju di dalam perhelatan piala dunia.

Coba negara Asia itu mau memboikot produk industri bola Eropa. Real Madrid, MU, Juventus, Barca pasti kelabakan. Mereka banyak mendapatkan keuntungan finansial dari Asia. Jangan cukup bangga di sebut nama negaranya dalam media sosial, atau diucapi selama hari raya atau hari kemerdekaan, atau ucapan prihatin karena teror dan bencana alam.

Kontribusi balik mereka apa coba? Uang mengalir ke mereka jelas. Bahkan industri Asia pun berlomba-lomba menjadi sponsor mereka. Baik sponsor utama atau pendamping. Pemilik pun mulai banyak dari Asia. Kontribusi untuk Asia apa?

Memang soal budaya, tabiat, kebiasaan, dan kedisplinan tidak mendukung untuk bisa bersaing dengan level Eropa dan beberapa negara Amerika Latin. Toh Amerika Serikat yang dengan kesungguhan bisa berbicara banyak. Meskipun juga tidak konsisten dan luar biasa bagus. Toh ada hasil yang cukup memuaskan, dan ada peluang untuk itu.

Susah juga melepaskan nama besar untuk hilang dari peredaran piala dunia, coba jika Messi dan CR7 sudah liburan, mana dilirik lagi piala dunia. Membandingkan dua nama dalam kegagalan menendang pinalti saja sudah sebuah peluang bisnis, apalagi penampilan mereka. Coba bayangkan bagaimana sepinya piala dunia jika yang maju itu Iran dan Nigeria, bukan Portugal dan Argentina.

Messi dan CR7 angkat koper dan pergi berlibur, klub tentu senang karena dua andalan mereka bugar ppas masuk musim reguler tahun depan. Penyelenggaran piala dunia dan sponsor mereka berdua yang rugi tidak bisa memaksimalkan uang mereka bekerja.

Soal uang, industri, dan bisnis jauh lebih dalam berpengaruh di ajang terbesar dunia ini. Mata tertuju dna fokus, permainan profresional, beda dengan olimpiade yang memang lebih cenderung pembinaan.

Sepak bola Asia ya akan begitu-begitu saja kalau tidak membangun diri di dalam regional yang lebih kuat. Apalagi Indonesia, di antara arus industri yang demikian kuat.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun