Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sudirman Said Menggadaikan Rumah, Demokrasi Partisipatif Vs Biaya Tinggi

25 Juni 2018   12:00 Diperbarui: 25 Juni 2018   12:05 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
regional.kompas.com

Sudirman Said menggadaikan rumah untuk mengamankan suara, kata Prabowo. Nampaknya idealis, benar, dan sangat  sederhana. Apakah sesederhana tampilannya tersebut? Jelas sangat tidak sederhana, bahkan dalam arti luas sangat mengerikan dan berbahaya. Apalagi jika ingat pernyataan Zulkifli Hasan kalau gaji gubernur itu kecil. Implikasi lebih luas yang bisa sangat berbahaya.

Apa yang dinyatakan ketua umum Gerindra ini sebenarnya bagus, bahwa kader, calon, dan pegiat partai berkorban demi sesuatu, bisa partai, kursi yang diperjuangkan dengan kemampuan sendiri, dan sejenisnya. Namun, apakah demikian fakta yang ada itu?

Jika fokus untuk saksi, jauh lebih mengerikan. Demokrasi partisipatif kalah dengan demokrasi nasi bungkus dan demokrasi amplop. Mengapa demikian? Sangat mungkin, berpolitik itu adanya idealisme, kesamaan perjuangan, dan bukan mencari bayaran jika sudah demikian. Keluar uang, tombok, torok, saweran, hal biasa. Jika masih mencari uang dari partai, ya sudah jangan harap akan membaik kondisi demokrasi ini.  Point pertama.

Kedua, jika benar demi mengamankan suara bisa ke mana-mana artinya, , dan demi "uang makan dan transport" saksi, maka bagaimana Sudirman nanti menebus gadaiannya. Ada dua kemungkinan kalau gagal jadi gubernur, sudah itu urusan pribadi.  Jadi ingat kasus Ramadhan Pohan di Medan. Jika menang? Susah melihat bagaimana mengelola keuangan dengan ekonomi biaya tinggi begini. Ingat kata ketua MPR gajii gubernur itu kecil, dari gajinya, lha makan, kehidupan keluarga, pendidikan anak bagaimana coba?

Ketiga, kelihatan bahwa popularitasnya masih belum cukup menjanjikan sehingga khawatir ketenaran dan keterpilihannya bisa hangus. Kembali soal partai politik yang enggan dan malas kerja keras. Ekonomi biaya tinggi menjadi jalan keluar, membeli pemilih, membayar saksi, menebarkan spanduk dan kampanye dengan masif sesaat, dan cara-cara lain yang sangat mahal.

Keempat, ada juga ungkapan demi mengamankan suara. Bisa mengamankan itu dalam arti melindungi dari kecurangan, hal yang jauh lebih mengerikan, atau "membeli" suara pemilih. Point keempat ini menjadi bahasan cukup luas.

Satu. Jika dalam arti mengamankan dari "kecurangan" siapa yang bermain, sistemkah, petahanakah, atau siapa? Dan dari mana  bahaya keamanan itu, perlu diklarifikasi bukan hanya didiamkan saja. KPU, Bawaslu perlu proaktif untuk ini, jangan hanya dikatakan normatif, namanya masa kampanye. Ini serius.

Dua, mengamankan dalam arti suara tetap aman, pemilih tidak berpaling, wah bahaya juga. Pemilih dibeli, diiming-imingi, dan disandera dengan uang jika demikian. Apa artinya? Calon  tidak tenar, sekaligus tidak menjanjikan. Orang yang yakin dengan kualitasnya tidak takut tidak membeli.

Tiga, kualitas mesin partai yang patut dipertanyakan. Bagaimana pertanggungjawaban partai politik di dalam melakukan kerja politik mereka. Pemilih tidak cukup diyakinkan selain dengan uang. Ini sangat mengerikan, betapa pemilih matre yang bisa sangat berbahaya. Termasuk menggadaikan masa depan  Jawa Tengah.

Kelima. Ontran-ontran mahar politik di awal pilkada serentak lalu, makin terbukti dengan pengakuan jujur Prabowo ini. Meskipun tidak sepenuhnya tepat sebagaimana dinyatakan La Nyalla Mataliti, toh dengan pengakuan ini, sebagian benar. Memang masuknya berbeda, toh sama saja akhirnya politik mahal. Dan pemenang soal uang bukan kualitas apalagi pengabdian.

Keenam, berangkat dengan modal, susah berharap orang untuk tidak mencari balik modal. Mana ada orang mau nombok dalam artian sangat besar begini. Jika dikalukulasi, modal adalah 10 X, apa iya dengan gaji 0.01 X bisa mengembalikan modal? Ke mana muaranya, KPK akan kerja lebih keras lagi.

Ketujuh, yakin dengan idealisme calon pejabat yang demikian? Jelas akan  merasa hutang budi, jelas punya hutang materi juga, kapan bisa bekerja sepenuh hati coba? Susah melihat waktu lima tahun bisa bekerja penuh, apalagi tahun keempat sudah sibuk dengan nyaln lagi.

Kedelapan, demokrasi biaya tinggi sudah saatnya ditinggalkan. Mahal ditolak, padahal di lapangan semua itu fakta. Perlu kejujuran elit partai untuk membangun negeri ini. Membeli partai di awal, di ujung pemilihan membeli pemilih, ya tekor calon jika demikian.

Kesembilan, tentu bukan alasan juga untuk mengembalikan pemilihan lewat jalur dewan. sama sekali tidak menjamin perubahan signifikan.

Apa yang perlu dilakukan negara dan partai politik?

Membangun peradaban baru di mana perlunya demokrasi partisipatif. Rakyat tidak menanti amplop, saksi bekerja sebagai pemberian diri, bukan jadi beban partai, namun beban kader di lingkup terkecil. Hal ini mungkin jika elit tidak bergaya hidup mewah dengan uang partai. Ada keteladanan tentunya.

Pendidikan politik dan demokrasi terus menerus. Tidak sekadar banyaknya partai, namun juga kualitas berdemokrasi yang berkembang. Jangan hanya berpikir soal kursi namun juga pembangunan bangsa dan negara, konteks kedaerahan ya membangun daerah. Termasuk di dalamnya adalah model koalisi yang bermartabat dan beretika. Berbeda bukan musuh, namun untuk saling melengkapi.

Ungkapan jujur dan bagus, dimaknai dengan baik pula, demi perkembangan demokrasi, bukan demi kebencian dan karena berbeda pilihan politik. Perlu kerja keras dan cerdas, jangan puas dengan jumlah partai saja. Apakah KPU, Bawaslu mau melanjutkannya demi kebaikan bangsa dan negara? Pesimis. Hanya akan jadi angin lalu saja.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun