Ketujuh, yakin dengan idealisme calon pejabat yang demikian? Jelas akan  merasa hutang budi, jelas punya hutang materi juga, kapan bisa bekerja sepenuh hati coba? Susah melihat waktu lima tahun bisa bekerja penuh, apalagi tahun keempat sudah sibuk dengan nyaln lagi.
Kedelapan, demokrasi biaya tinggi sudah saatnya ditinggalkan. Mahal ditolak, padahal di lapangan semua itu fakta. Perlu kejujuran elit partai untuk membangun negeri ini. Membeli partai di awal, di ujung pemilihan membeli pemilih, ya tekor calon jika demikian.
Kesembilan, tentu bukan alasan juga untuk mengembalikan pemilihan lewat jalur dewan. sama sekali tidak menjamin perubahan signifikan.
Apa yang perlu dilakukan negara dan partai politik?
Membangun peradaban baru di mana perlunya demokrasi partisipatif. Rakyat tidak menanti amplop, saksi bekerja sebagai pemberian diri, bukan jadi beban partai, namun beban kader di lingkup terkecil. Hal ini mungkin jika elit tidak bergaya hidup mewah dengan uang partai. Ada keteladanan tentunya.
Pendidikan politik dan demokrasi terus menerus. Tidak sekadar banyaknya partai, namun juga kualitas berdemokrasi yang berkembang. Jangan hanya berpikir soal kursi namun juga pembangunan bangsa dan negara, konteks kedaerahan ya membangun daerah. Termasuk di dalamnya adalah model koalisi yang bermartabat dan beretika. Berbeda bukan musuh, namun untuk saling melengkapi.
Ungkapan jujur dan bagus, dimaknai dengan baik pula, demi perkembangan demokrasi, bukan demi kebencian dan karena berbeda pilihan politik. Perlu kerja keras dan cerdas, jangan puas dengan jumlah partai saja. Apakah KPU, Bawaslu mau melanjutkannya demi kebaikan bangsa dan negara? Pesimis. Hanya akan jadi angin lalu saja.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H