Sudirman Said menggadaikan rumah untuk mengamankan suara, kata Prabowo. Nampaknya idealis, benar, dan sangat  sederhana. Apakah sesederhana tampilannya tersebut? Jelas sangat tidak sederhana, bahkan dalam arti luas sangat mengerikan dan berbahaya. Apalagi jika ingat pernyataan Zulkifli Hasan kalau gaji gubernur itu kecil. Implikasi lebih luas yang bisa sangat berbahaya.
Apa yang dinyatakan ketua umum Gerindra ini sebenarnya bagus, bahwa kader, calon, dan pegiat partai berkorban demi sesuatu, bisa partai, kursi yang diperjuangkan dengan kemampuan sendiri, dan sejenisnya. Namun, apakah demikian fakta yang ada itu?
Jika fokus untuk saksi, jauh lebih mengerikan. Demokrasi partisipatif kalah dengan demokrasi nasi bungkus dan demokrasi amplop. Mengapa demikian? Sangat mungkin, berpolitik itu adanya idealisme, kesamaan perjuangan, dan bukan mencari bayaran jika sudah demikian. Keluar uang, tombok, torok, saweran, hal biasa. Jika masih mencari uang dari partai, ya sudah jangan harap akan membaik kondisi demokrasi ini.  Point pertama.
Kedua, jika benar demi mengamankan suara bisa ke mana-mana artinya, , dan demi "uang makan dan transport" saksi, maka bagaimana Sudirman nanti menebus gadaiannya. Ada dua kemungkinan kalau gagal jadi gubernur, sudah itu urusan pribadi. Â Jadi ingat kasus Ramadhan Pohan di Medan. Jika menang? Susah melihat bagaimana mengelola keuangan dengan ekonomi biaya tinggi begini. Ingat kata ketua MPR gajii gubernur itu kecil, dari gajinya, lha makan, kehidupan keluarga, pendidikan anak bagaimana coba?
Ketiga, kelihatan bahwa popularitasnya masih belum cukup menjanjikan sehingga khawatir ketenaran dan keterpilihannya bisa hangus. Kembali soal partai politik yang enggan dan malas kerja keras. Ekonomi biaya tinggi menjadi jalan keluar, membeli pemilih, membayar saksi, menebarkan spanduk dan kampanye dengan masif sesaat, dan cara-cara lain yang sangat mahal.
Keempat, ada juga ungkapan demi mengamankan suara. Bisa mengamankan itu dalam arti melindungi dari kecurangan, hal yang jauh lebih mengerikan, atau "membeli" suara pemilih. Point keempat ini menjadi bahasan cukup luas.
Satu. Jika dalam arti mengamankan dari "kecurangan" siapa yang bermain, sistemkah, petahanakah, atau siapa? Dan dari mana  bahaya keamanan itu, perlu diklarifikasi bukan hanya didiamkan saja. KPU, Bawaslu perlu proaktif untuk ini, jangan hanya dikatakan normatif, namanya masa kampanye. Ini serius.
Dua, mengamankan dalam arti suara tetap aman, pemilih tidak berpaling, wah bahaya juga. Pemilih dibeli, diiming-imingi, dan disandera dengan uang jika demikian. Apa artinya? Calon  tidak tenar, sekaligus tidak menjanjikan. Orang yang yakin dengan kualitasnya tidak takut tidak membeli.
Tiga, kualitas mesin partai yang patut dipertanyakan. Bagaimana pertanggungjawaban partai politik di dalam melakukan kerja politik mereka. Pemilih tidak cukup diyakinkan selain dengan uang. Ini sangat mengerikan, betapa pemilih matre yang bisa sangat berbahaya. Termasuk menggadaikan masa depan  Jawa Tengah.
Kelima. Ontran-ontran mahar politik di awal pilkada serentak lalu, makin terbukti dengan pengakuan jujur Prabowo ini. Meskipun tidak sepenuhnya tepat sebagaimana dinyatakan La Nyalla Mataliti, toh dengan pengakuan ini, sebagian benar. Memang masuknya berbeda, toh sama saja akhirnya politik mahal. Dan pemenang soal uang bukan kualitas apalagi pengabdian.
Keenam, berangkat dengan modal, susah berharap orang untuk tidak mencari balik modal. Mana ada orang mau nombok dalam artian sangat besar begini. Jika dikalukulasi, modal adalah 10 X, apa iya dengan gaji 0.01 X bisa mengembalikan modal? Ke mana muaranya, KPK akan kerja lebih keras lagi.