Bangsa ini bangsa religius, lihat sepanjang jalan hingga pelosok, rumah ibadah selalu ada, megah, mewah bahkan, dan tidak pernah sepi dari aktivitas keagamaan. Mengapa latahnya yang buruk dan penuh kedengkian, negatif, dan bukan ungkapan syukur misalnya.
Mengubah keadaan itu tidak perlu kemarahan, kebencian yang memuncak, dan dengan bahasa-bahasa kasar. Apa juga tidak merasa malu pada anak-cucu, jika menyaksikan omongan yang mengaku tokoh negara malah kalah dengan preman jalanan.
Kritikan itu boleh, bahkan harus demi baiknya negeri ini. Apa benar itu kritik, atau asal berbeda, waton sulaya, bisa dilihat dengan rekam jejaknya, motivasi yang tidak dinyatakan apalagi diakui. Jika berkutat pada keakuan, pada kelompokku saja, susah percaya bahwa itu kritik.
Apa yang keluar dari mulut itu yang ada dalam hati. Bagaimana mungkin orang yang orientasinya setan bicara malaikat. Orang yang memiliki kecenderungan neraka bicara surga, dan yang biasa curang bisa berkata kejujuran.
Tampaknya guyonan Srimulat yang diulang soal menuduh dan menuding itu masih relevan, bagaimana orang menuding itu satu jari ke luar dan tiga menunjuk ke dalam diri. Bagaimana berteriak-teriak pihak lain, padahal perilakunya sendiri banyak yang paham seperti apa.
Apakah bisa suatu hari mendengar kelatahan itu hal yang positif, lha malah korupsi dijawab dengan ayat suci, yang perbuatan baik dimaki dengan keji. Mau apa sih negeri ini, jika selalu demikian elitnya?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H