Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Latah Politik, Ketika Semua Tidak Netral dan Bentuk Tampilan Bawah Sadar

25 Juni 2018   05:00 Diperbarui: 25 Juni 2018   07:21 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latah politik, politik latah, dan bentuk ungkapan bawah sadar. Coba kagetkan atau tepuk orang yang biasa latah, apa yang akan terjadi? Ya apa yang  paling biasa didalam benaknya. Ada seorang nenek yang sangat tua, namun masih gesit, eh ia ini paling latah menyebut nama alat kelamin laki-laki. Nah tahun 80-an di desa masih jarang sepeda motor, si nenek ini kaget waktu mau menyeberang ada klakson dari motor pak lurah, spontan saja keluar itu k....l dan seterusnya. Bayangkan merah padam muka pak lurah pun si nenek sambil minta maaf berkali-kali.

Coba cek ke Mbah Gugle, kata Amien Rais pada pencarian gambar, akan hadir gambar Amien Rais dengan berbagai versi, dan tidak kalah mengagetkan gambar setan dengan beraneka  rupa pun nongol. Jangan ngamuk dan salahkan Google atau ngamuk pada lapak ini. Hal ini sudah terjadi berhari-hari lalu. Dan hingga menulis ini belum berubah, masih tetap demikian.

Neraka kemudian mengekor di belakangnya. Pilihan yang membuat booming, viral, dan jadi pusat pembicaraan di jagad dunia maya. Luar biasa pilihan kata yang sangat memesona ini. meskipun konteks Lebaran sangat ironis sebenarnya dengan temanya. Bertolak belakang, meskipun secara politis sangat populer. Mau sinkron tidak, mau kontekstual tidak, yang penting tenar dulu.

Eh masih dalam lingkup yang berdekata, politikus baper muncul dengan sinyalemen BIN, TNI, dan Polri mulai bermain tidak netral. Ada tambahan oknum, bukan lembaga, namun toh sudah ada pernyataan itu. Hal yang sangat serius karena ada tantangan minimal kesiapan untuk ditangkap polisi, ah jangan guyon Pak Beye, nanti twitter sepi dong....

Menarik apa yang menjadi politik latah ini, ilustrasi almarhum nenek-nenek yang sukses mempermalukan diri dan lurahnya di atas menjadi gaya berpolitik para politikus kini. Presiden beberapa waktu lalu meminta masyarakat jelas termasuk elit ini bukan untuk bermedia dan berpikir positif.  Lha apa iya bisa menelorkan hal baik jika isinya adalah buruk?

Mana ada sih mesin bobrok menghasilkan produk berkualitas.  Ada tidak angsa menelorkan emas? Jelas tidak akan bisa. Politik latah ini  sangat identik dengan perilaku jalanan, senggol bacok, apa yang ada di dalam benak dan pola pikirnya yang akan keluar.

Coba mana bisa orang yang membiasakan diri berpikir logis, analitis, dan matematis, tiba-tiba percaya mistis, atau sebaliknya. Orang yang biasa bicara mistis, takhayul, dan sejenisnya, tiba-tiba berbicara sangat rasioal dengan data lengkap secara analitis? Tidak akan bisa. Apa yang menjadi kebiasaan dan gayanya itulah yang diterakan pada pihak lain.

Ketika membuat pakaian, meskipun ada pakaian jadi dengan ukuran S, M, L, XL, dan seterusnya, toh banyak yang masih menjahit dengan ukuran badan masing-masing. Badan personal bukan? Mengapa keluar setan, neraka, dan tuduhan tidak netral?

Tentu berlebihan dan sangat tidak elok dan sopan jika menuduh para elit ini berkutat dengan setan, neraka, dan ketidaknetralan. Menjadi pertanyaan adalah mengapa dengan mudah pilihan itu yang dinyatakan.

Kan banyak kata, istilah, dan masukan kata mereka kan demikian. Jika mau memberikan masukan dengan kepala dingin, hati jernih, dan demi bangsa dan negara. Sangat mengerikan pilihan bahasanya.

Jadi berpikir betapa bahagianya Bangsa India dengan Gandi yang memilih ahimsa, tidak mengizinkan kekerasan, bahkan sejak dalam pemikiran. Patut bersyukur kita juga sebenarnya memiliki budayawan, sastrawan yang memberikan benih kebaikan dengan menyatakan adilah sejak dalam pikiran, ala Pram.

Bangsa ini bangsa religius, lihat sepanjang jalan hingga pelosok, rumah ibadah selalu ada, megah, mewah bahkan, dan tidak pernah sepi dari aktivitas keagamaan. Mengapa latahnya yang buruk dan penuh kedengkian, negatif, dan bukan ungkapan syukur misalnya.

Mengubah keadaan itu tidak perlu kemarahan, kebencian yang memuncak, dan dengan bahasa-bahasa kasar. Apa juga tidak merasa malu pada anak-cucu, jika menyaksikan omongan yang mengaku tokoh negara malah kalah dengan preman jalanan.

Kritikan itu boleh, bahkan harus demi baiknya negeri ini. Apa benar itu kritik, atau asal berbeda, waton sulaya, bisa dilihat dengan rekam jejaknya, motivasi yang tidak dinyatakan apalagi diakui. Jika berkutat pada keakuan, pada kelompokku saja, susah percaya bahwa itu kritik.

Apa yang keluar dari mulut itu yang ada dalam hati. Bagaimana mungkin orang yang orientasinya setan bicara malaikat. Orang yang memiliki kecenderungan neraka bicara surga, dan yang biasa curang bisa berkata kejujuran.

Tampaknya guyonan Srimulat yang diulang soal menuduh dan menuding itu masih relevan, bagaimana orang menuding itu satu jari ke luar dan tiga menunjuk ke dalam diri. Bagaimana berteriak-teriak pihak lain, padahal perilakunya sendiri banyak yang paham seperti apa.

Apakah bisa suatu hari mendengar kelatahan itu hal yang positif, lha malah korupsi dijawab dengan ayat suci, yang perbuatan baik dimaki dengan keji. Mau apa sih negeri ini, jika selalu demikian elitnya?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun