Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Fenomena Saling Lapor, Saling Tuntut, serta Penegakan Hukum

23 Juni 2018   08:36 Diperbarui: 23 Juni 2018   08:59 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dilaporkan mahasiswa ke kepolisian karena sebut "mudik neraka", Habiburokhman lapor balik. (tribunnews.com)

Fenomena saling melaporkan perilaku pihak lain, makin hari makin menggejala, dan seolah sebuah keharusan. Tidak usah bicara pemerintah dan pemerintahan, sama saja. Si A bicara soal X, si B tidak terima karena seharusnya adalah X' dan laporlah ke polisi dengan berbagai argumen oleh si B. Si A tidak terima dengan pelaporan itu dan balik melaporkan B sebagai pelaku ini dan itu. Aneh dan lucu, keduanya bisa hilang bak ditelan bumi, atau menjadi booming dan viral karena kepentingan tertentu.

Menarik hal ini seolah menjadi gaya baru, budaya baru, dan ada yang hobi malah untuk dilaporkan dan melaporkan. Post '98 eforia dalam berbagai hal memang terjadi, salah satunya ya model lapor melapor ini. Mengapa demikian? 

Pertama, soal eforia. Usai puluhan tahun terkekang, bisa menjadi apa saja dan bagaimana saja. Namun sudah tidak lagi relevan ketika sudah 20 tahun, kalau usia orang, ini bukan abg labil lagi, sudah proses dewasa awal, yang bisa membedakan baik dan benar, serta penting atau tidak. Tidak lagi ikut emosi semata.

Kedua, elit dan penegak hukum sering menjadi biang 'kerusuhan" ini, apalagi dewan, yang kemudian berkedok di balik UU MD3 atau sebagai tugasnya. Padahal jelas-jelas bukan bidang yang ia ampu. Memberikan contoh buruk dan demikian masif untuk dikonsumsi setiap saat.

Ketiga, lemahnya sikap bertanggung jawab. Orang bisa berbicara apa saja, namun ketika sadar melanggar hukum, dengan enteng akan menyatakan khilaf, mohon maaf, atau ngerinya, hanya becanda. Hal yang konyol sebagai bangsa besar, sudah cukup lama merdeka, dan mengaku demokratis, namun sikapnya anti itu semua.

Keempat, hukum yang dirancang multi tafsir. Produk penjajah yang memang dibuat untuk mengebiri rakyat jajahan yang dibuat bungkam. Eh oleh regim berikut dipandang baik dan dilanjutkan terus. Jika revisi KUHP masih oleh orang-orang itu-itu saja, apalagi dewan sekarang ini, jangan harap akan ada perubahan baik. Buruk iya.

Kelima, penegakan hukum yang sangat lemah dan masih belepotan dengan kepentingan. Hal ini pun bisa dilihat dalam beberapa point. Satu, kalah dengan gerudugan massa. Bisa dilihat bagaimana polisi, hakim, menjadi gamang dan bisa tidak karuan hasil penegakan hukumnya. Dua, saling campur aduk, penegakan hukum, politik, agama, dan seterunya yang membuat hukum malah kehilangan tajinya.

Tiga, politikk abai etika oleh elit partai membuat makin kacaunya penegakan hukum. Empat, seharusnya pelaporan yang pertama tidak bisa menjadi terlapor, dilanjutkan ke persidangan terlebih dahulu, ketika tidak  benar otomatis menjadi terlapor dan sebaliknya jika benar, selesai, tidak berbelit dan berlebihan.

Keenam, para ahli hukum terlibat di dalamnya. Lihat saja bagaimana pelaporan dan terlapor itu tidak jarang doktor hukum. Mengapa mereka terlibat di dalamnya? Mereka tahu celah hukumnya, dan biasanya mereka bebas dengan tahu sama tahu, saling sandera kepentingan.

Ketujuh, berkaitan dengan hal keenam, jika menyangkut penegakn hukum, tahu banyak soal hukum, termasuk anggota dewan, perlu diberi hukuman yang lebih berat. Selama ini hukum dirusak justru oleh mereka ini.

Kedelapan, memandang perbedaan sebagai musuh, dan bahkan susah melihat adanya persamaan. Entah daripada awalnya, asalnya, dan model baru ini. Bangsa dipolarisasikan sebagai kutup yang akan selalu berbeda. Tidak pernah mau mencari persamaan, perbedaan yang dibesar-besarkan, sensitivitas berlebihan dan tidak proporsional dalam melihat banyak hal.

Kesembilan, sikap kritis yang berlebihan. Sering orang tidak tahu apa-apa merasa tersinggung, merasa terhina, dan merasa terlecehkan. Hal yang menunjukkan sifat kekanak-kanakan berlebihan. Besar badannya, namun kepribadiannya kanak-kanak. Dan dominan elit negeri ini seperti itu.

Kesepuluh, gila label dan merasa kesamaan label sebagai pembenar merasa sama. Bagaimana karena sama agama, suku, pilihan politik, dan sejenisnya orang bisa berlebih-lebihan dalam banyak hal. Hal yang perlu kesadaran, belum tentu sama labelnya itu benar dan belum tentu label berbeda itu salah.

Kesebelas. Emosional lebih dominan dari sisi rasionalitas. Aneh dan lucu sebenarnya, mengaku negara beragama, agama tersentuh sedikut saja ngamuk, namun sensitifitas rasa dan mudah tersulut ini gampang sekali. Padahal orang yang memiliki kemampuan spiritualitas tinggi akan tidak mudah tersinggung, berpikir panjang, memberikan kesempatan, bukan malah parang yang berbicara.

Keduabelas, spontanitas dan tidak berjarak. Komentar dalam media sosial jelas memperlihatkan itu. Reaktif jelas memperlihatkan kualitas kepribadian. Kemudian menyesal, menangis, merasa bersalah, meminta maaf, kan jelas tidak mau mengambil jarak dulu. Instingtif yang lebih di kedepankan. Padahal kan manusia itu oleh filsuf disebut hewan yang berakal budi. Coba kalau budi dan akalnya ketinggalan entah di mana, mosok tinggal hewannya.

Bangsa ini bangsa besar, kurangi sikap reaktif dan ubah menjadi responsif. Cuek bebek tidak baik, namun reaktif tanpa mengaji, mencerna, dan mengevaluasi akan menjadi masalah. Sikap bijak sangat diperlukan, bukan saling menyalahkan dan mencari benar sendiri.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun