Kesembilan, sikap kritis yang berlebihan. Sering orang tidak tahu apa-apa merasa tersinggung, merasa terhina, dan merasa terlecehkan. Hal yang menunjukkan sifat kekanak-kanakan berlebihan. Besar badannya, namun kepribadiannya kanak-kanak. Dan dominan elit negeri ini seperti itu.
Kesepuluh, gila label dan merasa kesamaan label sebagai pembenar merasa sama. Bagaimana karena sama agama, suku, pilihan politik, dan sejenisnya orang bisa berlebih-lebihan dalam banyak hal. Hal yang perlu kesadaran, belum tentu sama labelnya itu benar dan belum tentu label berbeda itu salah.
Kesebelas. Emosional lebih dominan dari sisi rasionalitas. Aneh dan lucu sebenarnya, mengaku negara beragama, agama tersentuh sedikut saja ngamuk, namun sensitifitas rasa dan mudah tersulut ini gampang sekali. Padahal orang yang memiliki kemampuan spiritualitas tinggi akan tidak mudah tersinggung, berpikir panjang, memberikan kesempatan, bukan malah parang yang berbicara.
Keduabelas, spontanitas dan tidak berjarak. Komentar dalam media sosial jelas memperlihatkan itu. Reaktif jelas memperlihatkan kualitas kepribadian. Kemudian menyesal, menangis, merasa bersalah, meminta maaf, kan jelas tidak mau mengambil jarak dulu. Instingtif yang lebih di kedepankan. Padahal kan manusia itu oleh filsuf disebut hewan yang berakal budi. Coba kalau budi dan akalnya ketinggalan entah di mana, mosok tinggal hewannya.
Bangsa ini bangsa besar, kurangi sikap reaktif dan ubah menjadi responsif. Cuek bebek tidak baik, namun reaktif tanpa mengaji, mencerna, dan mengevaluasi akan menjadi masalah. Sikap bijak sangat diperlukan, bukan saling menyalahkan dan mencari benar sendiri.
Terima kasih dan salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI