Politik itu perlu juga yang mananya kompromi, belajar bijak dari Ahok dan almarhum Gus Dur, bagaimana mereka berdua, pribadi yang kokoh di dalam pilihan dan keputusannya. Tidak ada yang salah dengan keteguhan untuk tetap pada pilihan itu. Apalagi jika telah diikuti dengan ketulusan dan keiklasan, telah usai dengan dirinya sendiri.
Kompromi tentu dalam arti yang baik, positif, dan membangun bukan di dalam kolaborasi untuk berperilaku jahat atau curang. Sering kita salah di dalam memahami makna sebuah peristiwa. Boleh dan bahkan harus tidak kenal kompromi di dalam kejahatan, namun apakah mungkin tidak mau kompromi, sedang semua lingkungan itu penjahat? Bisa malah diteriaki sebagai sesat, dan malah tidak bisa berbuat lebih banyak lagi dan memberikan kebaikan yang seharusnya bisa dilakukan.
Gus Dur, tidak ada yang salah dengan apa yang telah almarhum lakukan. Namun pilihan cerdas dan cerdikinya banyak yang belum mampu diterima oleh sebagian besar kalangan yang sedang mabuk kebebasan dalam berpendapat dan berpolitik.
Beliau tidak sabar untuk membawa bangsanya pada posisi yang semestinya, bukan sebagai bangsa yang hanya besar namun keropos. Apa daya, anak-anak TK, taman kanak-kanak yang belum bisa buang ingus sendiri itu oleh Gus Dur diajak untuk berlari maraton mengejar ketertinggalan dengan negara lain.
Anak-anak TK ini sebenarnya dewasa, namun karena tidak pernah mau belajar, malas dininabobokan sekian lama, suka main aman, dan lebih cenderung enggan berpikir, badan dewasa namun jiwa dan pikiran masih kanak-kanak. Apa yang terjadi?
Meradang dan tantrum. Guling-guling khas anak TK, padahal fisiknya dewasa. Jauh lebih sulit menghadapi orang dewasa tantrum,dari pada anak-anak menangis dan berguling-guling. Diberi permen dan diajak jalan-jalan selesai, kalau orang dewasa yang kekanak-kanakan susah lagi.
Terciptalah musuh yang sejatinya hanya tidak mau terganggu kesenangannya. Coba lihat kalau ada anak kecil yang tidak biasa dididik, kemudian main games tidak kenal waktu, ada otoritas lain yang menghentikan keasyikannya, apa yang akan terjadi? Ngamuk dan  tidak mau tahu, bahwa orang yang berani menggangu itulah yang salah dan jahat.
Ujungnya sama-sama tahu bukan? Ya Gus Dur yang disingkirkan.
Tidak jauh berbeda juga dengan Ahok, bagaimana gilny orang satu itu di dalam menghadapi mafia baik jalanan atupun berdasi. Tidak perlu berpanjang lebar karena  masih segar dalam ingatan, nanti ada tuduhan soal belum terima kenyataan, dan sebagainya. Yang jelas muara dan ujungnya identik dengan Gus Dur.
Politik itu menang-menang, bukan menang kalah. Sering orang karena suka jagoan yang berdiri pada pihak yang benar selalu mengalahkan kejahatan, eh di dalam politik pun berpikir demikian. Padahal tidak sesederhana itu. Coba bayangkan kalau semua pejabat yang korupsi itu dibui semua, lha berapa banyak yang masih tersisa coba. Perlu waktu untuk mrmbenahi, tidak sesederhana membalik telapak tangan.
Politik itu perlu mengalah untuk menang. Menghadapi anak-anak tidak bisa langsung menjatuhkan keputusan dan pilihan. Bisa meradang, nah trik yang jitu itu sangat perlu. Di sinilah peran diplomasi dan keuletan sehingga tidak kalah dalam arti menyerah dan kalah dengan keadaan.
Masuk dengan cara mereka dan keluar dengan pola kita. Hal yang sangat penting namun sering abai dilakukan. Contoh memasuki kawasan atau komunitas yang setiap hari pekerjaannya berjudi dan maling sebagai hal lumrah, apakah memberikan mereka katakata suci agama akan bisa masuk? Bisa-bisa ditendang dan dibunuh. Masuk bukan dengan ikut maling tentunya, main-main lah ke sana ikut main jika mungkin yang tidak dengan uang. Sambil bergaul menyelami kehidupan mereka, upayakan perubahan dalam peri hidup mereka. Misalnya mendirikan koperasi atau apa. Tentu koperasi  bukan untuk menjerat mereka namun memberdayakan mereka. Ini contoh, jangan malah dibahas.
Pandangan dan penilaian miring soal kompromosi memang cenderung negatif karena seringnya dalam hidup bersama sebagai bangsa ini salah kamprah. Yang salah dianggap benar, yang benar dinilai salah karena banyaknya yang meyakini dan menggunakannya. Di sinilah letak kesalahannya, pemahaman bukan pada sisi komprominya.
Sering dijumpai kompromi dalam hal yang buruk, misalnya daripada ramai, ya sudah mengalah, tetapi tidak pernah ada penyelesaian hingga akar masalahnya. Paling banyak soal kerusuhan dalam peri hidup beragama. Merasa paling besar bisa mendikte yang lebih kecil. Padahal dalam hidup berbangsa ada UU dan UUD. Pun penegak hukum sering demikian.
Demi menjaga nama baik, sering kriminalitas pun diselesaikan dengan diam-diam. Perbuatan buruk bisa menjadi biasa saja karena pelakunya orang besar, misalnya. Kompromi yang tidak semestinya.
Kompromi jelas salah jika melanggar hukum, prinsip dalam perihidup, namun bukan dalam cara atau jalan mendapatkan penyelesaian. Sikap dan kebijaksaanaan diperlukan.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H