Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Presiden atau Wapres Militer, Ya atau Tidak?

12 Juni 2018   06:00 Diperbarui: 12 Juni 2018   08:26 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden atau wakil presiden dari militer atau bukan sejatinya bukan masalah. Malah masalah  jika militer tidak boleh menjadi kedua jabatan tersebut. Mengapa? Diskriminasi atas anggota militer tentunya. 

Apa bedanya dengan profesi lain, atau latar belakang yang lainnya. Memang ada beberapa hal yang menjadi kendala baik psikologis, seperti traumatis, atau alasan lain. Namun jika dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada masalah.

 Teristimewa bangsa ini menghadapi dua pemimpin dari militer dengan karakter masing-masing. Satu hingga 32 tahun, satunya dua periode. Soal kemajuan atau hasil dari kedua rezim itu beda kasus. Dalam ulasan ini bukan hendak melihat itu, namun posisi latar belakang yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman.

Militer menjadi terkutuk bahkan bukan semata terlarang adalah jika melakukan kudeta. Menggulingkan pemerintahan yang sah dengan kekuatan militer dan senjata yang mereka miliki. Ini jelas bukan pemerintahan yang baik dan semestinya. Susah melihat pembenar apapun alasannya militer mengacungkan senjata kepada pemerintahan yang sah di alam demokrasi.

Sepanjang militer telah pensiun atau mengundurkan diri tidak ada alasan untuk melarang mereka aktif dalam politik praktis. Tentu dengan berbagai catatan yang patut untuk dilihat:

Militer itu dididik untuk berperang, mempertahankan keamanan dan pertahanan negara yang utama dan jiwa mereka. Berbeda dengan sipil, politis, yang mengedepankan diplomasi yang sedikit banyak tidak berkaitan dengan pertahanan. 

Sedikit pertahanan itu diplomasi, toh yang mengadakan diplomasi ada sendiri, dan itu bukan bidang yang mereka jadikan acuan.

Militer terlarang ketika mengambil alih semua jabatan publik dan jabatan politis dengan mengatasnamakan demokrasi seperti Orba dulu. 

Mereka mengambil pos dari presiden hingga gubernur, bupati/walikota, dan desa-desa. Yang mereka lepas hanya level kecamatan karena tetap bisa mereka kuasai. Hal ini yang tidak patut dilakukan lagi.

Militer cenderung menghayati komando yang hirarkhis. Anak buah tidak ada hak bicara atau membantah, hanya bisa siap jalankan. Tentu sangat berbeda di dalam birokrasi bernegara yang akan cenderung perlu kompromi, diplomasi, dan ada kadang kala menang-menang. Mana ada paradigma militer menang-menang, mereka akan cenderung mengalahkan.

Berkaitan dengan komando ini, memang negara akan cenderung stabil, tenang, dan tidak banyak gejolak, karena model dari atas ke bawah yang akan dilakukan tanpa ada penolakan atau bantahan. Di sinilah peran stabil yang tidak semestinya. Keadaan seolah tenang karena takut bukan benar-benar tenang.

Militer yang diperlengkapi dengan senjata yang sah secara UU karena memang bertugas untuk mengamankan negara, bisa berbahaya jika sejak awal memiliki gen untuk haus kekuasaan. Mereka bisa menggunakan kekuatan mereka untuk menodongkan senjata yang bisa berabe. 

Kehidupan berbangsa bisa kacau balau karena kekuatan militer yang awalnya untuk mengamankan negara malah bisa menjadi ancaman bagi negara. Di sinilah peran penddikan militer menjadi penting.

Kegagalan partai politik melakukan kaderisasi akhir-akhir ini sangat terasa. Peran pendidikan militer apalagi perwira sangat menggiurkan bagi keberadaan partai politik malas untuk menyomot perwira untuk menjadi pejabat publik politis, dengan cara mengundurkan diri tentunya. Hal ini sangat merugikan baik negara ataupun institusi militer.

Negara jelas dirugikan oleh partai politik malas karena beaya untuk mendidik perwira, kemudian membayar mereka untuk sekian lama, eh dipanen oleh partai politik yang sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi pendidikan dan pembentukan perwira tersebut. Sangat tidak adil juga sebenarnya. Karena mereka hampir selalu ikatan dinas, eh dinikmati segelintir kelompok.

Lembaga militer jelas sangat kehilangan kader yang terbaik, tidak akan partai politik mengambil perwira atau prajurit yang buruk untuk diajukan ke dalam dunia jabatan publik. Apa yang mereka miliki untuk membangun organisasi militer harus "diberikan" kepada partai yang enggan bekerja keras untuk menghasilkan kader berkualitas.

Politikus yang merangkak naik dari level terbawah bisa tiba-tiba tersingkir karena kalah pengalaman dan pendidikan yang memadai sebagaimana militer. Jenjang karir jelas memberikan pengalaman yang mumpuni, dalam dunianya paling tidak. 

Dibandingkan kaderisasi yang sekali lagi tidak pernah ada kesempatan untuk bisa berlatih dan berjenjang melatih dan membina diri dalam organisasi yang benar-benar sebaik militer. Jelas kalah jauh dengan politikus alamiah.

Apa yanag sebaiknya dilakukan adalah, menciptakan kaderisasi  yang baik oleh partai politik. Kerja keras dan cerdas bukan semata mencari jalan pintas dan "menculik" anggota militer yang memang sudah jadi, namun apakah kualitasnya benar-benar teruji, sebenarnya bisa dilakukan penelitian mendalam, apa benar mereka sukses sebagaimana seharusnya, atau hanya tampaknya saja sukses.

Penanaman sikap mental militer untuk memang bercita-cita sebagai perwira dan panglima sebagai cita-cita tertinggi, bukan malah putus tengah jalan demi menjadi bupati, walikota, gubernur, dan presiden. Memang itu hak politik dan hak warga negara, namun jika memang demikian, apa iya bisa diandalkan untuk mempertahankan negara sebagai prajurit?

Militer menjadi pejabat publik juga warga negara tidak boleh mendapatkan diskriminasi. Pengalaman masa lalu juga bukan menjadi pembenar untuk melarang anggota militer menjadi pejabat publik. Satu yang pasti, mereka dididik menjadi militer ya untuk mempertahankan negara dengan cara militer yang sedikit banyak berbeda dengan cara-cara sipil.

Salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun