Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keluarga, Relasi Maya, dan "Phubbing"

5 Juni 2018   19:57 Diperbarui: 5 Juni 2018   20:03 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga, relasi maya, dan phubbing, beberapa hari lalu, ketika ada rekan sangat lama tidak berjumpa berkunjung, dan dilanjut dengan anjangsana ke rumah rekan lain, semua asyik dengan smarphone masing-masing. Eh tidak tahunya saya menjadi bahan candaan di WAG, mereka yang di depan saya riuh rendah dengan teman-teman yang ada di Bogor, Jakarta, Cepu, Kebumen, dan banyak lagi kota yang lain.

Phubbing, bukan menjadi bahan utama artikel ini, namun bagaimana orang sudah asyik, sibuk, dan konsen pada layar ponsel masing-masing. Ini dapat dari WAG, kemarin, lha pas dengan pengalaman kalau begitu.

Sikap dan pilihan pribadi yang tidak mudah untuk memilih tidak membuka alat komunikasi ketika bersama dengan orang lain, bisa siapa saja. Bertamu atau sedang menerima tamu, apalagi jika bersama dengan orang yang dihormati. Hentikan sejenak saja, beberapa gereja sudah lebih asyik dengan layar daripada Misa atau ibadatnya. Bagaimana keasyikan ini, memang syik main hape dari pada dengar khobat yang membuat ngantuk misalnya.

Tidak mudah, karena bisa seperti terasing, semua asyik dengan diri dan layar masing-masing, malah ada sesepuh di desa yang mengatakan anak sekarang soleh-soleh, selalu menunduk sepanjang waktu, menunduk melihat layar maksudnya.

Ketika memiliki komitmen untuk bersikap bahwa media termasuk hape perlu dijauhi ketika ada relasi, ada komunikasi tatap muka, tentu akan menjadi lebih mudah dan ringan. Canggung pada awalnya.

Akibat asyik dengan smartphone salah satunya adalah aktivitas stalking, Aktivitas untuk mengulik, atau mengikuti media sosial orang yang disukai, atau mantan misalnya. Apa yang terjadi adalah bisa menjadi masalah yang tidak mudah. Energi yang bisa untuk aktivitas malah asyik dengan dunia sepi dunia maya dan sendiri.

Di meja makan pun kalai tidak hati-hati, sebuah keluar bisa saling asyik dengan gadget masing-masing, tidak ada interaksi, apalahgi komunikasi dengan anggota keluarga. Entah apa yang dijadikan bahan untuk sibuk masing-masing itu. Toh memang harus segitunya untuk up date, dengan mengurangi sedikit saja untuk bersama sebagai keluarga tidak bisa?

Di sekolah hal yang sama tidak mudahnya ketika pesert dididik asyik dengan alat komunikasi masing-masing, kuping ada head set, tangan asyik dengan genggamannya. Waktu istirahat habis untuk diri sendiri, teman tidak menjadi perhatian. Hal yang serba susah ketika anak diciptakan untuk soliter. Asyik dengan diri sendiri, kepuasan sendiri, dan abai akan lingkungan.

Akibat jangka panjang, orang menjadi terasing dengan kemanusiaan, relasi sosial terkikis, karena asyik dengan dunia maya yang jelas-jelas maya, bukan nyata. Memang mereka dibangun oleh orang juga, namun siapa tahu ada yang mesin sebagai mesin yang bertugas untuk menjawab atau menyebarkan hal yang menarik,  bukan tidak mungkin bukan? Paling tidak sudah banyak manusia yang kehilangan kemanusiaannya ketika menjual dan menebar kebohongan dan kejahatan dengan tidak merasa bersalah.

Karena berjarak orang merasa tidak merasa kalau itu menyakiti. Lihat saja caci maki, umpatan, dan kalimat buruk lainnya berseliweran di mana-mana. Media sosial yang menjadi media soksial, sehingga mengalienasi kemanusiaan, di mana socius, teman, itu malah menjadi lawan, rival. Mengapa demikian? karena berjarak. Merasa tidak berhadapan muka, bisa berlaku seenaknya. Berbeda ketika itu nyata, takut ditonjok misalnya.

Berjarak, orang bisa bersembunyi. Lihat saja susahnya  membedakan mana yang asli atau yang abal-abal. Mengapa demikian? Ya karena dunia maya. Bisa saja bicara A padahal faktanya B atau mengatakan sedang menangis padahal sedang becanda. Meskipun ada panggilan video toh masih bisa berjarak memang sedikit terjembatani.

Kemanusiaan harus dibangun bukan dirusak, media dan teknologi juga adalah bagian utuh kemanusiaan. Kemajuan alat dan media komunikasi itu untuk membantu manusia makin manusia, bukan malah manusia diperbudak oleh teknologi dan media. Manusia yang harus bijak. Berikan porsi secukupnya. Misalnya batasi penggunaan mulai pukul berapa sampai pukul berapa, dan ketika ada bersama-sama dengan manusia, sesedikit mungkin menggunakan media. Biarkan kemanusiaan bertemu manusia.

Kesadaran bahwa manusia dibantu alat bukan sebaliknya. Alat harus dikuasai bukan malah alat menguasai manusia. Apa sih kemendesakannya status dalam media sosial, ciutan, atau apapun itu jika malah menjadikan manusia malah kehilangan kemanusiaannya. Manusia kehilangan keluarganya, manusia kehilangan relasinya.

Tidak ada yang salah dengan alat komunikasi dan media sosial, namun bagaimana sikap bijaksana manusia di dalam menggunakannya. Penggunaan yang proporsional dan meningkatkan kinerja dan sifat hakiki manusiawi mengapa tidak?

Media sosial, ataupun grup bisa membantu, namun jika tidak bijak bisa menjadi bencana. Pedang bermata dua ini tidak bisa disingkiri atau tidak bisa ditolak, bagaimana manusia yang berakal budi ini memiliki kemampuan untuk mengelola sehingga tidak jatuh pada tataran kemanusiaan malah menjadi alat semata.

Ingat di sana pun ada motif ekonomi yang tidak bisa dinafikan. Dan ketika abai akan ini, jadilah kita konsumen yang hanya jadi pengikut yang jika tidak hati-hati hanya jadi sapi perah.

Kemajuan teknologi tidak bisa dibantah, namun bagaimana kita sebagai makhluk berakal budi menyiasatinya agar tidak merugikan kemanusiaan kita. Manusia tuan atas alat.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun