Dalam sebuah kisah inspiatif, Anthony de Mello mengisahkan seekor burung gagak yang membawa sepotong daging dalam paruhnya, sambil terbang. Melihat daging segar yang masih meneteskan darahnya itu, burung gagak lain berbondong-bondong mengejarnya.
Ke manapun terbangnya, mau menaik tajam atau menukik, belok ke arah manapun selalu diikuti. Burung-burung gagak itu bukan hanya mengejar dan mengikuti, namun juga menyerang dengan ganasnya.
Alam demokrasi saat ini pun tidak jauh dengan model gagak yang membawa daging dengan gagak-gagak yang lain. serangan untuk merebut daging oleh gagak yang lain, hendak mempertontonkan model demokrasi ala bar-bar atau hukum rimba. Sejatinya demokrasi itu ya pemilu, lima tahun sekali atau kurun waktu yang ada.
Atas nama demokrasi sih boleh-boleh saja, namun apa iya, bener demikian, nyatanya, pemilu baru usai, sudah mau merebut daging itu kog. Dikit-dikit ganti presiden, isunya apa toh ujung-ujungnya juga presiden. Apakah ini antikritik? Jelas bukan, senyatanya tidak berkaitan pun dikait-kaitkan dengan presiden dan pemerintaah.
Pada peringatan hari buruh yang lalu, pun gaung ganti presiden juga mengemuka. Apa coba kaitan dengan peringatan hari buruh dengan mengganti presiden. Kecuali kalau hari buruh itu juga hari pemilu, tidak ada yang salah. Atau presiden memberikan tekanan atau larangan untuk mengadakan perayaan hari buruh.
Malah mirip iklan minuman ringan, di mana mau nonton siaran langsung sepak bola, atau mau arisan, Â main di rumah teman, teman datang ke rumah, tetap minumnya air minum yang sama. Hebat ya demokrasi di sini.
Peran oposisi meskipun tidak ada di dalam sistem pemerintahan presidensial, nyatanya juga terjadi, bahkan parlemen jauh lebih nggegirisi daripada sistem parlementer. Toh serangan oposisi bahkan pendukung pemerintah pun tidak kalah garangnya. Ingat bukan soal antikritik atau antidemokrasi, berlebihan dan tidak proporsional.
Penjalan amanat demokrasi, yang sedang duduk di kursi kepemimpinan, itu malah seperti gagak yang sedang diburu gagak lain. Padahal idealnya tidak demikian.
Namanya demokrasi, ya, Â ada waktunya untuk berganti dengan kurun waktu yang sudah disepakati bersama. Tidak menyerang bak babi buta dengan segala isu dan panggung dipakai, yang tidak jarang sangat memalukan.
Demokrasi itu ada kurun waktu untuk berganti pemimpin dengan bermartabat. Namanya pemilu dengan suara terbanyak sebagaimana telah ditetapkan bersama.
Di sana ada lembaga peradilan yang akan memutuskan jika ada perbedaan pemahaman, ada perselisihan, ada kecurigaan kalau ada pelanggaran dan kecurangan. Jika sudah dilantik, artinya telah dinyatakan sah, yang ditunggu periodenya berakhir.
Kritik, ah ini wajib untuk demokrasi yang bermartabat, bukan demokrasi akaln-akalan. Kritik itu perlu yang namanya solusi, bukan hanya waton sulaya. Asal berbeda dengan penguasa buat apa, nyinyir namanya. Jika tidak mampu menunjukkan solusi, paling tidak mendasar, ada data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Data yang dipakai untuk mengritik ada kebenarannya, bisa dipertanggungjawabkan, bukan setenagh fakta yang dibuat-buat. Jika tidak mau bertanggung jawab atas data, apa bedanya dengan gagak yang menyerang dengan ganas itu bukan?
Penegakan hukum bukan sikap otoriter, atau sikap antikritik jika memang sesuai dengan UU. Otoriter atau antikritik, jika UU atau pasal yang diada-adakan.
Bedakan ini, jangan hanya bicara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun tidak mau bertanggung jawab. Jika pihak yang berbicara tidak bertanggung jawab diminta memberikan klarifikasi namun tidak mau, lha kan sama dengan gagak yang hanya bisa ganas menyerang.
Sikap kritis dan kritikan itu akan berorientasi pada kepentingan umum, bukan hanya kepentingan sendiri dan kelompok. Nah ketika hanya berfokus pada daging yang di paruh gagak, artinya apa? Ya kekuasaan itu.
Jika orientasi daging pada paruh itu, apa selanjutnya?
Susah mengharapkan gagak-gagak itu akan mau berbagi daging yang dipatuknya. Gagak-gagak ini akan juga saling berebut lagi, saling serang dengan ganas. Apakah ini alam demokrasi yang kita inginkan? Jelas bukan.
Daging yang akan didapat, jelas akan dijadikan "milik" sendiri, dipertahankan untuk menjadi milik sendiri. Padahal kepemimpinan itu bukan demikian. Demokrasi juga tidak  begitu itu bukan?
Sayangnya politikus negeri ini masih model gagak-gagak yang menyerang dengan ganas pada "pemilik" daging yang sah. Nah ketika menyerang, dalam artian tidak sportif, belum saatnya, apa yang terjadi?
Kecenderungan perilaku jahat, keroyokan, pokoknya dapat merebut itu, dan fokus pada daging saja. Mau caranya benar atau tidak, layak atau tidak, pantes atau tidak, demokratis atau bukan, tidak menjadi pertimbangan. Ironisnya mereka antifasis, eh perilakunya jauh lebih dari fasisme.
Perlu kedewasaan untuk mengakui kalau kalah dalam pemilu adalah hal yang wajar. Kritik dan pengawasan juga sangat wajar. Namun jika tidak mendasar juga bukan demokrasi namanya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H