Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Demokrasi ala Indonesia dan Burung Gagak

23 Mei 2018   06:00 Diperbarui: 23 Mei 2018   11:09 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. Aktivis yang tergabung dalam Lingkar Studi Mahasiswa berunjuk rasa di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (2/11/2012). || foto: kompas.com

Kritik, ah ini wajib untuk demokrasi yang bermartabat, bukan demokrasi akaln-akalan. Kritik itu perlu yang namanya solusi, bukan hanya waton sulaya. Asal berbeda dengan penguasa buat apa, nyinyir namanya. Jika tidak mampu menunjukkan solusi, paling tidak mendasar, ada data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

Data yang dipakai untuk mengritik ada kebenarannya, bisa dipertanggungjawabkan, bukan setenagh fakta yang dibuat-buat. Jika tidak mau bertanggung jawab atas data, apa bedanya dengan gagak yang menyerang dengan ganas itu bukan?

Penegakan hukum bukan sikap otoriter, atau sikap antikritik jika memang sesuai dengan UU. Otoriter atau antikritik, jika UU atau pasal yang diada-adakan.

Bedakan ini, jangan hanya bicara yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun tidak mau bertanggung jawab. Jika pihak yang berbicara tidak bertanggung jawab diminta memberikan klarifikasi namun tidak mau, lha kan sama dengan gagak yang hanya bisa ganas menyerang.

Sikap kritis dan kritikan itu akan berorientasi pada kepentingan umum, bukan hanya kepentingan sendiri dan kelompok. Nah ketika hanya berfokus pada daging yang di paruh gagak, artinya apa? Ya kekuasaan itu.

Jika orientasi daging pada paruh itu, apa selanjutnya?

Susah mengharapkan gagak-gagak itu akan mau berbagi daging yang dipatuknya. Gagak-gagak ini akan juga saling berebut lagi, saling serang dengan ganas. Apakah ini alam demokrasi yang kita inginkan? Jelas bukan.

Daging yang akan didapat, jelas akan dijadikan "milik" sendiri, dipertahankan untuk menjadi milik sendiri. Padahal kepemimpinan itu bukan demikian. Demokrasi juga tidak  begitu itu bukan?

Sayangnya politikus negeri ini masih model gagak-gagak yang menyerang dengan ganas pada "pemilik" daging yang sah. Nah ketika menyerang, dalam artian tidak sportif, belum saatnya, apa yang terjadi?

Kecenderungan perilaku jahat, keroyokan, pokoknya dapat merebut itu, dan fokus pada daging saja. Mau caranya benar atau tidak, layak atau tidak, pantes atau tidak, demokratis atau bukan, tidak menjadi pertimbangan. Ironisnya mereka antifasis, eh perilakunya jauh lebih dari fasisme.

Perlu kedewasaan untuk mengakui kalau kalah dalam pemilu adalah hal yang wajar. Kritik dan pengawasan juga sangat wajar. Namun jika tidak mendasar juga bukan demokrasi namanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun