Fenomena pembuatan partai politik sebagai kendaraan pencapresan memang sudah lama. Wiranto, Prabowo, Hari Tanoe, dan yang gagal seperti Rhoma Irama, adalah pelaku-pelaku pembuatan kendaraan untuk menerobos dominasi partai politik dan calon yang ada.
Tidak salah, ketika ketua umum partai politik akan jauh lebih mendapatkan kemudahan untuk menjadi kandidat presiden atau wakil. Apakah demikian?
Dalam beberapa waktu terakhir, sebelum tergeser oleh pembicaran bom dan terorisme, salah satu elit Gerindra, Sandiaga Uno menyebut dua menteri perempuan, Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani sebagai  salah satu bakal calon wakil presiden bagi Prabowo. Jelas mereka bukan orang partai politik. Mengapa mereka mendapatkan lirikan? Jelas karena prestasi.
Sebenarnya dalam skala lebih kecil, pilkada jauh lebih banyak bukan kader atau berasal dari parpol. Mereka memiliki reputasi cukup baik dan membuat partai politik kepincut dengan capaiannya itu. Jelas bahwa mungkin capres tidak memiliki partai politik itu sebenarnya.
Contoh cukup banyak sebenarnya. paling fenomenal jelas ada pada Jokowi dan nama yang membuat sensi Ahok. Suka atau tidak, rela atau berat hati dua nama itu tetap menjungkirbalikan partai politik dan "pemilik" partai, ketua umum sebagai kandidat terkuat untuk menjadi capres.
Pak Boed pun demikian, beliau bukan seorang praktisi politik. Jauh dari hingar bingar politik, seorang bankir, dan akademii, namun toh bisa juga menjadi wakil presiden.
Tidak perlu repot-repot para warga bangsa yang merasa layak, pantas, dan memiliki rasa untuk membangun dengan menjadi presiden atau wakil presiden jika memang tidak memiliki partai politik. Toh partai politik belum tentu memiliki kader yang cukup mumpuni untuk menjadi kandidat ini dan itu.
Syarat yang cukup komplit sering tidak memadai para ketua umum partai  politik atau elit partai. Kadang tenar, orang mengelu-elukan, pinter dalam banyak bidang, toh tidak cukup dalam elektabilitas. Hal ini sudah dibuktikan Yusril dan Amien Rais. Ada PBB dan PAN yang akan mengusung pun tidak bisa. Atau pengalaman Abu Rizal Bakrie, kurang apa medianya dengan ANTV dan TVOne yang demikian masif mengiklankan diri, Golkar kurang gede apa, toh menjadi calon saja tidak bisa.
Elit pun jika sudah tenar, merasa memiliki partai, lupa yang namanya dalam bahasa Jawa pulung, dewi fortuna bagi dunia lain, atau garis tangan. Hal ini sering membuat orang menjadi meradang kalau tidak terpilih, merasa dunia gelap gulita, merasa pihak yang menang sebagai pelaku kecurangan, dan selama lima tahun membuat gerakan-gerakan yang tidak patut.
Siapa sih menyangka kalau Jokowi bisa menjadi presiden. Bukan ketua partai, bukan pula elit nasional, masih daerah, toh karena prestasinya lah beliau bisa naik ke posisi itu. Gak perlu sensi dan mengotori lapak komentar, ingat Prabowo pun ikut membawa Jokowi dari Solo ke Jakarta. Artinya apa yang dinyatakan Zon selama ini nol besar, karena dia juga mendukung kala di Jakarta.
Pun demikian, PKS tidak bisa mengatakan ini itu, jika tidak amnesia, dan ingat bagaimana merekaa juga mendukung di pilwako kedua di Solo. Atau Jokowi yang mundur kualitasnya? Atau tidak menerima kenyataan bahwa yang dulu didukung kini tidak memberikan peluang yang baik bagi kelompoknya? Yang tahu hanya kalian dan Tuhan saja tentunya.
Demikian juga Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani, mengapa Sandi berani mengatakan peluang besar, basa-basi juga sih, toh karena ada sesuatu, ada capaian yang bisa diraih, dimungkinkan lebih lagi. Â Mereka berdua memperkuat posisi nonpartisan ala Boediyono yang bisa melenggang mengalahkan ketua umum partai untuk menjadi wakil presiden. Memang posisi Pak Boed bukan semata prestasi, namun kepentingan politis SBY tentunya.
Daerah-daerah banyak memberikan contoh, sehingga membuat partai politik blingsatan, tanpa membahas Ahok daripada banyak yang sakit perut. Ada nama Ridwan Kamil, ada Risma, mereka awalnya bukan orang partai, namun karena partai membutuhkan mereka, akhirnya lah partai melamar mereka, tentu dibalik, mereka mengajukan lamaran untuk maju menjadi walikota.
Kisah-kisah itu sebenarnya tidak perlu merisaukan seperti Gatot Nurmantyo yang merasa gerah karena begitu dominannya partai politik di dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Memang salah satu sebabnya, budaya membuat partai politik untuk menjadi kendaraan cukup menjanjikan, ada Prabowo, Wiranto, dan SBY, meskipun yang sukses ya Cuma SBY sebenarnya lainnya pun nol besar.
Demokrasi ini akan semakin maju dan sehat, jika semua warga bangsa ini berlomba-lomba di dalam prestasi dan pengabdian. Mengabdi dengan sungguh-sungguh, dan ingat pulung, kehendak Sang Pencipta ternyata memberikan kesempatan dan kepercayaan. Partai politik itu sarana  semata.
Prestasi membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kontroversi mungkin saja berhasil, namun belum tentu sebaik jika itu adalah prestasi.
SalamÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI