Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Radikalisme dan Pembiaran

19 Mei 2018   06:00 Diperbarui: 19 Mei 2018   08:41 2281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Warga dan anggota Ormas melakukan aksi solidaritas mengecam aksi teror, di depan Gedung Cakrawala, Jakarta Pusat, Jumat (15/1/2016). (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

Kisah lama, bukan proses tiba-tiba, apalagi dikaitkan dengan presiden ini dan itu. Perjalanan panjang yang tidak seketika.

Tahun pertengahan 90-an sudah mulai ada lembaga pendidikan yang "aneh" dengan libur bukan ikut kalender nasional, namun kepala sekolah. Ini sekolah negeri, libur keagamaan hanya satu agama, yang lainnya "tetap" masuk.  Pun pertengahan 2000-an pun hal yang sama terjadi.

Beberapa tahun yang lalu mulai marak pemindahan hari libur pada waktu yang berbeda setiap pekannya. Cukup marak, di beberapa daerah. Upacara bendera pun hilang dari sekolah-sekolah, dengan dalih keagamaan.

Jadi teringat kembali, saat kemarin ada kiriman dari rekan mengenai aktifitas, kepercayaan, dan sikap pelaku pengeboman di Surabaya ternyata sejak SMA, pada awal 90-an, sudah tidak mau upacara, tidak mau menghormat pada bendera.

Pembiaran. Hal yang jelas saja terjadi sekian lama. Atas dasar tidak enak, anak pintar, atau karena agama mengenai hal yang sensitif. Padahal apakah demikian? Jelas landasan adalah Pancasila dan UUD '45. Artinya apa yang menjadi pedoman adalah dua pilar tersebut. Jika di luar dari itu, artinya sudah melanggatr UU.

Jangan kaget ketika hari-hari ini ribut dengan adanya ceramah radikalis, Muhamadiyah dan NU pernah membuat penelitian dan disusunlah dalam sebuah buku  bisa dilihat dan dibaca dalam da dari salah satu link berikut.

Buku yang memberikan kajian mendalam, menyeluruh apa itu gerakal radikalis, sejak 2008, dan ketika 2018 ada upaya untuk "melakukan "rekomendasi itu, akibatnya ya seperti ini. Begitu banyak  orang yang sudah merasa nyaman, merasa mendapatkan angin segara, dan sudah yakin akan keyakinannya, melakukan perlawanan. Penegakan hukum malah bisa menjadi seolah perilaku jahat yang perlu dibenarkan. Lhah kan aneh, negara malah didikte dan digugat karena memang diberi mandat untuk menegakan hukum.

Gerakan yang demikian panjang, berkolaborasi dengan kepentingan yang sejalan, meskipun berbeda jalan bisa saling menjalin dan susah diurai. Bayangkan saja, satu yang terbaru, sejak 2008, sudah ada sepuluh tahun. Apalagi jika dicermati yang sejak 1980-an, 1990-an, puluhan tahun lalu, saatnya panen dan makin susah diselesaikan, karena jika itu adalah pohan, sudah begitu besar mengakar, bahkan sudah berbuah dan buah itu sudah menjadi tanaman baru.

Kini yang terjadi itu, karena sekian lama pembiaran, atas nama demokrasi, namun perilakunya justru melanggar prinsip demokrasi itu sendiri. Bagaimana bisa atas nama demokrasi namun memaksakan kehendak. Atas nama kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat namun memaksakan pendapat. Gerakan dan pendapat yang berbeda dengan dasar dan konstitusi negara pun seolah benar.

Makin susah karena adanya kepentingan yang menunggangi perilaku ini. Beberapa pihak yang sekarang bisa menjadi masalah, bukan semata radikalis itu sendiri.

Radikalis yang mulai nyaman dan terusik. Bisa bermain dengan banyak bidang karena sekian lama sudah masuk dalam berbagai lini  kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan, pemerintahan, ormas, dan sekian banyak bidnag lain. Susah membedakan karena mereka sering juga berperilaku  mendua. Jika menguntungkan mereka dukung, jika membahayakan mereka telikung. Pun Pancasila masih mereka pakai, kadang-kadang.

Oposisi munafik yang bisa saja mereka ini bukan radikalis, namun menggunakan momentum aksi radikalis atau perilaku pemerintah yang hendak menegakan hukum mereka hantam. 

Nah, ini sama sekali bukan radikalis, bisa juga sebaian radikalis, atau memang radikalis yang memilih untuk berperilaku seolah-olah warga negara yang baik. Ini jelas lebih berbahaya, main dua kaki dan menggunakan keberadaan radikalis untuk kepentingan mereka. Bisa kerugian pada pihak aparat atau radikalis, mereka yang beruntung.

Barisan lupa move on, mereka melihat apapun pemerintah salah. Nah dengan banyaknya kejadian teror, penangkapan penebar berita, ciutan, atau status yang cenderung seperti membela gerakan radikalis, padahal motivasi awalnya itu soal ketidaksukaan pada pemerintah.

Kelompok internasional. Mereka ini bisa radikalis internasional, dan momentum adanya benih yang mulai regenerasi ditumpangi demi kepentingan mereka sendiri. Bisa sama, bisa berbeda dengan apa yang ada di dalam negeri sendiri.

Kepentingan global, negara-negara yang tamak akan minyak dan sumber daya alam. Hal ini sering malah menjadi terlupakan karena kita asyik dengan pertikaian sendiri, dan bisa saja mereka ini yang menari dengan riang gembira karena bisa mendapatkan banyak keuntungan tanpa melakukan apapun.

Kemungkinan perang opini dan membentuk persepsi itu jelas akan terus terjadi. Sepanjang ada  pelanggaran atas norma Pancasila dan UUD '45 berarti masalah serius. Di sanalah yang perlu menjadi perhatian bersama.

Dukungan bukan dalam bentuk aksi, dana, atau pemikiran, namun sangat mungkin adalah ujaran yang sebenarnya bukan hendak mendukung radikalis, kepentingan politik yang ikut serta. Di sini masalah baru bertambah.    Penegakan hukum makin susah karena bisa diseret ke ranah politis, di mana orang mengaitkan dengan label, baik agama ataupun politik. Hukum terkalahkan.

Ketegasan menjaid mutlak dengan segala risikonya. Berjalan sesuai dengan hukum dan perundang-undangan, tidak perlu takut dan khawatir dengan apa yang menjadi pernyataan dan perkataan yang melanggar hukum. Hukumnya jelas.

Bedakan perilaku dan pribadinya. Penegakan hukum itu pada perilaku melanggar hukum, bukan soal profesi atau agamanya, jangan dibawa-bawa dan dicampuradukan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun