Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Sang Jenderal yang Mencari Kendaraan

9 Mei 2018   06:42 Diperbarui: 9 Mei 2018   07:34 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gatot Nurmantyo (Kompas.com/Roderick Adrian Mozes)

Sang jenderal yang mencari kendaraan, menarik apa yang dilakukan jenderal usai pensiun ini. Menyambangi para  "pemilik" partai politik, bukan para ketua umum, namun justru para "pengambil keputusan" dalam politik. Memang rata-rata juga ketua umum, apa tujuannya? Jelas mau nebeng dalam konteks ikut di dalam kendaraannya demi tujuan masuk dalam kontestasi pilpres mendatang. Apakah ini efektif?

Jika masyarakat banyak yang merasakan keuntungan alat transportasi on line, jauh lebih murah, lebih menjanjikan keamanan dan kenyamanan, dan pelayanan juga bagus, belum demikian bagi para penumpang politis yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Belum ada parpol online masalahnya.

Pertama, sangat sulit mendapatkan secuil saja bangku untuk nebeng. Masing-masing memiliki jagoan masing-masing yang punya potensi sendiri-sendiri, dan tentu pertimbangan politis yang berbeda-beda. Belum lagi jika hitunga-hitungan politis dan PT ikut berbicara. Susah pokoknya ikut gerbong Megawati, mau posisi apa coba? Atau mau bergabung dengan kebersamaan Prabowo, jelas saja akan menyulitkan Prabowo malah. Posisi tidak jauh  berbeda dengan partai Demokrat yang tentu sudah menyiapkan bangku terbaik untuk AHY.

Kedua, secara pribadi ia pernah menyatakan kalau parpol terlalu menguasai, ya iya. Memang demikian. masih perlu belajar banyak untuk bisa menyatakan yang terbaik untuk maju, parpol bisa menepikan egoismenya sendiri. Pun kemarin sudah dimulai tidak demikian kog. Jokowi bukan siapa-siapa partai, toh bisa juga.

Ketiga, jenderal perlu belajar dari SBY untuk memiliki partai sendiri. Pengalaman Prabowo, Wiranto, dan Agum Gumelar dan kawan-kawan, seharusnya menjadi acuan. Apa yang dimiliki Gatot Nurmantyo belum apa-apa, mengingat begitu ketatnya partai politik memiliki agenda sendiri. Susah untuk menembus barikade kepentingan ini.

Keempat, safari politik itu jauh lebih baik menakar kira-kira partai politik mana yang paling dekat persepsinya. Kemudian menentukan dukungan kepada capres mana. Jelas dengan demikian, akan ikut masuk gerbong kabinet jika menang. Kejelian melihat peluang yang menang juga penting, karena jika yang didukung kalah, ya sudah habis.

Kelima, jauh lebih baik jika ragu memilih mana yang potensial menang, mundur dalam arti tidak perlu membuat perseteruan yang meruncing. Nanti tiba saatnya ada presiden terpilih, baru merapat, ada kesempatan masuk kabinet, di sana belajar untuk bagaimana strategi lima tahun ke depan.

Keenam, bersiap membangun partai sendiri, atau mengambil salah satu partai politik yang ada. Ada kesempatan pada partai yang siap menampung, mosok kalau dengan bintang tiga dari Kopasus yang di Golkar.

Ketujuh, belajar dari senior Moeldoko, toh diam di balik layar pun kini masuk pusaran yang jauh lebih baik daripada Gatot Nurmantyo posisinya. Di mata partai politik, jauh lebih menjanjikan Moeldoko daripada sepak terjang Gatot Nurmantyo sekarang ini. soal survey masih bisa dikaji dalam ulasan lain tentunya.

Mengapa Gatot perlu bingung dengan melihat banyak hal yang masih bisa dilakukan;

Satu, usia belum cukup tua untuk lima tahun lagi masuk gelanggang. Lima tahun ini untuk persiapan, belajar, dan kemudian membangun citra politis yang hendak ditawarkan. Ingat Prabowo, SBY, Wiranto, dan kini Moeldoko, tidak serta merta langsung begitu saja pensiun dan masuk gelanggang lho.

Dua, posisnya sebagai militer menyusahkan parpol untuk mengusungnya. Ingat 98 belum lama. Mengapa susah, jika bersama Prabowo, keduanya militer, bersama AHY pun setali tiga uang, dan jika bersama Jokowi, toh perilakunya sudah banyak yang paham.

Tiga, perilaku politisnya, identik dengan Abraham Samad, yang tidak sabar dan kelihatan  demikian "ambisius". Ambisi  jelas harus dan baik, namun jika mengabaikan sisi lain, apalagi ini Indonesia, yang masih melihat hal-hal demikian dengan miring.

Empat, pilihan politis dulu ketika sebagai TNI aktif sudah jelas terbaca ke mana. Ini malah menyulitkan langkahnya sendiri. Politikus itu perlu belajar main cantik, cerdik, dan hati-hati. Jika grusa-grusu momentum yang dimiliki hilang dalam sekejap. Kedua sisi yang ada kemauan jelas mundur teratur. Sisi satu khawatir dengan sepak terjangnya, yang kemarin seolah mendapat dukungan pun  khawatir, benar tidak sih bisa diyakini.

Lima, optimis, ambisi, dan sikap bersemanagt itu harus, namun juga bisa dikelola dengan baik. Nampaknya hal ini yang masih perlu dikelola sehingga tidak malah membuang potensi yang ada. Momentum hilang karena pilihan sendiri yang tidak cermat disikapi.

Lebih baik, sekarang Gatot Nurmantyo memilih dari kemungkinan koalisi yang ada. Mantapkan pilihan, memang risikonya tetap sama-sama. Mengapa ini lebih baik, susah mengharapkan bantuan atau tebengan, ingat pengalaman Wiranto dan Prabowo dulu. Konvensi menang toh juga partai mendua, buat apa jika demikian bukan?

Usia belum terlalu tua menunggu lima tahun sambil membangun citra yang jelas. Tidak perlu mendua, karena beda dengan SBY yang sudah mendapatkan kursi ketika main dua kaki. Jika belum memiliki apa-apa, jangan main dua kaki, belajarlah pada Moeldoko, yang malah kini lebih cemerlang.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun