Dua, posisnya sebagai militer menyusahkan parpol untuk mengusungnya. Ingat 98 belum lama. Mengapa susah, jika bersama Prabowo, keduanya militer, bersama AHY pun setali tiga uang, dan jika bersama Jokowi, toh perilakunya sudah banyak yang paham.
Tiga, perilaku politisnya, identik dengan Abraham Samad, yang tidak sabar dan kelihatan  demikian "ambisius". Ambisi  jelas harus dan baik, namun jika mengabaikan sisi lain, apalagi ini Indonesia, yang masih melihat hal-hal demikian dengan miring.
Empat, pilihan politis dulu ketika sebagai TNI aktif sudah jelas terbaca ke mana. Ini malah menyulitkan langkahnya sendiri. Politikus itu perlu belajar main cantik, cerdik, dan hati-hati. Jika grusa-grusu momentum yang dimiliki hilang dalam sekejap. Kedua sisi yang ada kemauan jelas mundur teratur. Sisi satu khawatir dengan sepak terjangnya, yang kemarin seolah mendapat dukungan pun  khawatir, benar tidak sih bisa diyakini.
Lima, optimis, ambisi, dan sikap bersemanagt itu harus, namun juga bisa dikelola dengan baik. Nampaknya hal ini yang masih perlu dikelola sehingga tidak malah membuang potensi yang ada. Momentum hilang karena pilihan sendiri yang tidak cermat disikapi.
Lebih baik, sekarang Gatot Nurmantyo memilih dari kemungkinan koalisi yang ada. Mantapkan pilihan, memang risikonya tetap sama-sama. Mengapa ini lebih baik, susah mengharapkan bantuan atau tebengan, ingat pengalaman Wiranto dan Prabowo dulu. Konvensi menang toh juga partai mendua, buat apa jika demikian bukan?
Usia belum terlalu tua menunggu lima tahun sambil membangun citra yang jelas. Tidak perlu mendua, karena beda dengan SBY yang sudah mendapatkan kursi ketika main dua kaki. Jika belum memiliki apa-apa, jangan main dua kaki, belajarlah pada Moeldoko, yang malah kini lebih cemerlang.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H