Ruhut Sitompul dan Demokrat siapa rugi dengan "pertikaian" ini? Menarik ada yang terjadi menejlang pilkada serentak dan pilpres pun pileg mendatang, dengan adanya drama ala Ruhut ini. bicara Ruhut tidak akan  bisa pendek, akan ke mana-mana. Dengan demikian, justru merugikan Demokrat sendiri. Dengan berbagai macam desas-desus dan masalah yang melingkupi kader-kader partai Pak Beye ini.
Dalam sebuah buku inspirasi dikisahkan: dua filsuf yang mau ikut kata raja, dan satunya memilih idealis sebagai jalan hidupnya. Suatu hari, si filsuf yang ikut raja meledek filsuf idealisme yang makan pagi dengan epiring ubi. Ia mengatakan,"Kalau engkau mau belajar menghamba kepada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi ini."
Jawabnya,"Jikau engkau sudah belajar hidup dengan makan sampah, engkau tidak perlu menjilat raja."
Dalam berpolitik memang banyak pilihan, ada yang mengekor kata pimpinan meskipun salah, ada yang kritis dan kritikan membangun disampaikan, namun ada pula yang asal-asalan yang penting selamat, tana kontribusi.  Sisi lain, sebagai pengurus, petinggi, dan elit partai juga ada yang suka satu suara di dalam ide-idenya, anak buah hanya jaid pembeo dan pembebek tanpa ada kata berbeda. Ada juga pimpinan  yang tidak mempermasalahkan adanya perbedaan asal bukan perpecahan. Sangat dinamis jika demikian.
Melihat rekam jejak Demokrat, memiliki kecenderungan  partai politik tanpa adanya perbedaan, anak buah hanya mengikuti tanpa bantahan dan perbedaan sikap. Perbedaan sikap berujung pada "pemecatan" dan potensi gaduh yang tidak diinginkan. Sisi pengikut pun nampaknya lebih banyak yang berpola demikian.
Kali ini ada salah satu kandidat yang bahkan mengaku anjing penjaga, namun karena berkali ulang berseberangan, dipecat dan ketika berulah lagi ada seorang koleganya yang mengatakan, bukan kader Demokrat lagi ya biarkan saja.
"Perang" komentar pun tampil, mengenai kasus lama si rekan yang anaknya dibui karena "mengambil" proyek dari kantor bapaknya, si rekan ini. Mengapa anaknya  kena, si bapak tidak, begitu kira-kira, sindiran sekaligus ancaman yang tidak main-main ini. Menarik memang, mosok anaknya berulah dengan menggunakan orang lain, buta huruf jadi pemilik perusahaan untuk mengambil proyek, bapaknya tidak "terlibat"?  Paling tidak tahu meskipun snagat sedikit lah. Susah memercayai tidak tahu apa-apa.
Apa yang terjaid ini, jika tidak disiasati dengan baik, sangat mungkin menjadi bumerang yang tidak sembarangan efeknya. Posisi Ruhut di dalam partai Demokrat termasuk vital, banyak rahasia dapur Demokrat yang tentunya ia ketahui. Serangan pertama yang cukup lumayan membuat terhenyak saat salah satu petinggi yang kena sentil tidak menjawab lagi.
Begitu banyak rumor yang sangat jelas, namun kembali karena SBY dan Demokrat sebagai ppartai berkuasa, selalu mentok pada jajaran biasa. KTP-el dengan nama Gamawan, Marzuki Ali, Ibas disebut-sebut. Atau Hambalang yang demikian gencar, namun tetap saja akhirnya demikian. Nah pakah siap Demokrat menerima hantaman dari dalam seperti ini?
Ruhut juga dulu menjadi anggota dewan dengan jumlah pemilih nomor dua kalau tidak salah di Indonesia, kalah hanya oleh Ibas, suara Demokrat cukup siginifikan, dan menjadi pemenang. Ruhut tenar, sebagai pengacara kelas atas, artis, dan juga cara berkomunikasi pun berkonfrontasi dalam politik sangat menjual namanya di papan atas. Ini menjadi durian runtuh bagi parpol yang bisa   menjadi partai politiknya yang baru.
Demokrat secara suara sangat rugi menghadapi Ruhut dengan emosional dan berlebihan seperti ketika menghadapi pilkada Sumut. Tidak perlu demikian keras dibandingkan kerugian yang akan dihadapi. Berbeda jika menghadapi pilpres, Demokrat mengusung kadernya, dan dia malah mendukung kandidat lain, beda kasus. Pun di Sumut nampaknya kader Demokrat tidak bisa maju, jadi masih bisa ditolerir sebenarnya.