Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sederhananya Pemerintahan Otoriter bagi Seorang Ahli Ilmu Politik ini

23 April 2018   08:17 Diperbarui: 23 April 2018   09:25 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sederhananya otoriter bagi seorang ahli politik satu ini, dengan gampang akan ditemukan apa ciri pemerintahan, organisasi, atau kekuasaan otoriter. Ciri-cirinya, wataknya, perilaku para penguasa dan pejabatnya. Apalagi yang berbicara adalah seorang pendiri partai politik, dengan latar belakang akademisi pada bidangnya, dan lagi tokoh agama. Harusnya terukur, berdasar data ilmiah, dan sebaginya, eh ini hanya dengan satu ciri, bahwa lainnya "harus" jadi cawapres, padahal ini pun bisa menjadi bahan perdebatan tersendiri.

Apakah benar otoriter, tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada mahasiswa UI yang melakukan interupsi kemudian memberikan kartu kuning pada presiden sebelah misalnya, apakah mahasiswa masa depan bangsa ini tidak akan diumpankan anjing atau diracun di depan rumahnya ya?  Apa si ahli ilmu politik sudah lupa, atau memang pikun, bagaimana pernah dipimpin si jenderal penuh senyum namun bisa menghilangkan pengritiknya?

Coba apa gak mikir, atau gak bisa mikir, atau memang gak ada yang buat mikir, kalau otoriter apa ya masih bisa orang satu ini bicara seenaknya demikian, bukannya sudah hilang dari peredaran? Sebenarnya masih patut bersyukur beliau tidak masuk bui, padahal begitu banyak fakta yang bisa mengantar ke sana.

Tidak penting apa yang ia katakan, toh makin hari juga makin tidak karuan, tidak berdasar, dan asal bunyi. Jauh lebih penting adalah, apa yang ia nyatakan setiap hari itu, hanya sebentuk kebuntuan pikir dan rasanya yang menemui orang keras kepala yang tidak takut dengan nama besarnya. Buntu jadi omong apa saja, dan syukurnya presiden tidak bereaksi berlebihan.

Sikap berlebihan ini yang akan menjadi senjata selanjutnya untuk menjatuhkan presiden.  Ini yang disasar, untuk Jokowi tidak baperan dan mudah dihasut untuk mmelaporkan polisi dan seterusnya. Jika ada pemidanaan, langkah selanjutnya jelas akan menyatakan kala benar kan pemerintahan ini  antikritik, antisuara berbeda, dan seterusnya.

Apakah si ahli ini tidak tahu kalau kritik dan asal bunyi itu berbeda, tahu lah, hanya karena kebencian membuat sikap kritisnya hilang, yang ada hanya kedengkian, dan merasa salah terus pada pihak lain. sayang sekali kaliber doktoral luar negeri hancur sikap kritis dan cerdasnya karena ambisi dan obsesi yang tidak kesampaian.

Salah satu tugas politisi dan negarawan adalah memberikan pendidikan politik  yang baik dan bermartabat. Bagaimana jika menyatakan salah satu ciri kekuasaan saja direduksi dengan satu term yang masih separo  data dan kebenaran, dengan dalih Imin dan Prabowo menjadi cawapres. Beda kajian tentunya.

Persepsi masyarakat hendak dibelokan, dibiaskan, dan dijadikan kacau dengan pola pikirnya yang maaf kacau mau cari teman itu. Judeg, mau cari bahan lagi, coba jika mau otoriter, gampang saja, buat PT 45% kan selesai. Atau ikut-ikut sableng dengan membawa pemilihan presiden lewat MPR lagi. Toh tidak dilakukan.

Presiden dan para relawan serta pendukung untuk tidak terprovokasi dengan model bakar-bakaran demikian. Tidak perlu dibalas dengan langkah peradilan yang bisa jadi blunder, tunggu dua tahun lagi saja dan biarkan polisi bekerja dengan leluasa. Jika sekarang bisa menjadi malapekata bagi pribadi Jokowi dan durian runtuh bagi mereka. Ini yang dimaksudkan.

Masyarakat justru belajar, bagaimana elit yang aslinya cerdas bisa lebih bodoh dari rakyat yang buta huruf namun mau mendengarkan suara hatinya yang jernih. Berapa saja profesor, doktor, pascasarjana, sarjana yang keblinger karena kebencian. Ingat beda lho kritik dengan asal bunyi.

Lebih baik Amien Rais dan kawan-kawan itu fokus pada program, bukan hanya antitesis, sehingga rakyat itu benar-benar disuguhi pilihan cerdas dan lebih cerdas, bukan malah pilihan satu cerdas satunya oon, yang jelas tidak akan dipilih. Kerja keras dan kerja cerdas jangan hanya kerja merusak persepsi semata.

Media perlu bijak bukan hanya menjual kebencian seorang ini saja dengan tidak ada perimbangan. Pendidikan politik juga menjadi tugas media secara tidak langsung. Carikan ahli tata negara yang obyektif untuk memberikan ulasan mengenai otoriter itu seperti apa, contohnya siapa dan bagaimana. Bukan malah mencari artis untuk ditanya dan malah makin tidak jelas.

Tahun politik sejatinya menjadi kegembiraan untuk bisa berproses secara demokratis, menyenangkan  karena akan adanya pemimpin baru yang dapat menjadi harapan baru, dan bukan malah caci maki, kedengkian, merusak yang baik, mosok bangsa besar begini dirusak orang-orang sakit hati yang punya kesempatan bicara seenak udelnya saja.

Kritik itu harus, dan di sinilah letak otoriter dan bukan, tidak masalah siapa hanya jadi cawapres, mosok dosen tidak bisa hitungan politis? Jika penguasa otoriter, kritik saja dibungkam, apalagi asal bunyi yang membuat keadaan tidak makin baik.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun