Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Banyakan Notifmu Mewarnai Medsos Pihak Lain, atau Sebaliknya?

10 April 2018   05:20 Diperbarui: 10 April 2018   05:20 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Banyakan notifmu mewarnai medsos orang lain atau sebaliknya, pun status dan sejenisnya?  Beberapa hari lalu, banyak berseliwera berita di lingkungan rumah, si itu kena rayu pemeriksaan sekian ratus ribu, si itu kena sekian puluh ribu, dan seterusnya. Heboh dan jengkel pokoknya. Suatu siang ada dua gadis sangat belia, mendatangi rumah dan langsung nyerocos banyak banget.

Penolakan dengan mengatakan alat kesehatan sudah ada, hampir tidak mempan, ia makin banyak bicara dan terkesan mendesak. Saya berpikir anak-anak yang kelihatan baru lulus sekolah menengah itu mendapatkan pelatihan untuk "menjual" produknya ini. langsung singkat, tidak memberi kesempatan mengatakan, tidak terima kasih.

Kita, sangat jarang yang tidak hidup dengan dunia media sosial, entah apa judul dan namanya. Mau FB, WA, BB, Twiter, dan banyak lagi yang sering namanya pun tidak tahu, atau bisa juga e-mail. Apakah kita menjadi kecanduan, sehingga sebentar-sebentar melihat layar, ada notif masuk  tidak? Atau sebentar-sebentar membuat sesuatu untuk dibagikan. Bisa ide sendiri, mengirim ke mana, berupa gambar, film, atau kalimat, kadang hanya lambang atau simbol, smile,coba bayangkan jika membuat buku mungkin sudah jadi satu kontainer, jika semua SMS, emali, status dan sebagainya disatukan.

Apa kaitan media sosial dan media komunikasi dan si para "penjual" jasa pemeriksaan kesehatan itu? Mereka dan kita yang bermedia, sedang menekan tombol keluar. Mengeluarkan apa yang ada di dalam diri kita dan petugas itu, mengeluarkan apa yang  harus diterima orang dengan berbagai penerimaan, dengan tidak peduli, orang lain suka atau tidak. Semua pokonya dikeluarkan.

Apakah tidak ada tombol masuk? Ada, kesediaan mendengarkan. Mendengarkan bukan sekadar mendengar. Dengan mendengar saja, kita, dalam detik yang sama telinga kita bisa mendengar deru mesin motor, mobil yang berseliweran, suara tangis bocah, dan tawa orang tua, atau lengkingan teriak istri yang ngamuk uang belanjanya dibuat judi suaminya. Semua mampu kita terima, tapi adakah yang memang sengaja kita dengarkan?

Semua bisa masuk begitu saja, namun adakah makna, adakah peran kita memang mau sunguh-sungguh mendengarkan? Dan memberikan perhatian secara penuh atas apa yang kita dengarkan tadi?  Tentu saja tidak. Kita hanya mendengar, dan lewat begitu saja.

Kesibukan, apalagi dengan berkembang demikian pesatnya media sosial dan teknologi informasi, kita enggan memberikan waktu untuk mendengarkan. Apa yang kita peroleh dengan mendengarkan?

Pertama, memperoleh relasi yang lebih luas dan mendalam. Tidak sekadar namun mendalam karena ada empati dan kemauan mengerti. Tidak semata mengenal nama, ha ha hi hi,..menyentuh ranah rasa, hati, dan kedalaman.

Kedua, kesiapsediaan untuk menjadi curahan  tanpa mau mengeintervensi, menggurui, dan mencela, ataupun menyela. Sikap yang tidak mudah karena kebiasaan sebaliknya. Sikap yang sangat banyak dibutuhkan, seperti bahu bidang pemuda yang menerima tangisan gadis yang ditinggal kekasihnya.

Ketiga, memberikan pembelajaran bagi kedua belah pihak. Ingat keduanya, sama-sama berkembang. Jika mendengar saja, ada yang merasa menjadi korban dan ada yang menjadi penindasnya. Tidak demikian bagi pribadi yang menyediakan diri untuk mendengarkan.

Keempat, tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang diuntungkan. Hal ini bukan masalah untung rugi, namun soal hati yang sama-sama untung. Sikap yang tentu tidak populer di dalam keadaan yang makin materialistis.

Apalagi begitu tahu salah satu media sosial ternyata "kebocoran" data pribadi, kemudian ribut-ribut merasa dirugikan, dicurangi, dan seterusnya. Dewan yang biasanya seperti tidak punya waktu untuk bekerja saja langsung bereaksi keras. Seperti yang paling tahu dan mengerti banyak hal saja.

Apa yang kita bagikan dalam media sosial, ya akhirnya menjadi konsumsi publik. Jangan dikira pribadi itu benar-benar pribadi. Jelas saja ada admin yang mengendalikannya. Mereka bisa saja salah pencet, atau sengaja pencet dan jadi lebih dari dua minimal yang tahu. Belum lagi jika itu grup, langsung jamak yang bisa mengonsumsi.

Tentu tulisan ini bukan mau menghakimi, menilai lebih baik mana atau lebih buruk yang mana, namun bahwa keputusan kita bermedia, kemudian mendapatkan kerahasiaan yang tidak seperti yang diharapkan, berkaitan pula dengan keberadaan kita, untuk mendengarkan atau mau didengar secara terus menerus.

Manusia pada hakikatnya akan memiliki kecenderungan untuk selalu didengar, menjadi pusat perhatian, dan merasa yang paling, itu manusiawi. Tidak mau menjadi nomor sekian, apalagi jika tersisih. Dari sana timbulah keinginan mendomanasi, tebar pesona, dan sejenisnya. Merasa kesepian dan mudah tersinggung jika mendapatkan tanggapan yang tidak semestinya.

Dengan  mau mendengarkan, mau menjadi penikmat, dan menjadi pihak yang memahami, lebih meringankan beban pikiran. Tidak heran orang bisa menjadi begitu pemarah akhir-akhir ini, sikap iri, pengin, merasa orang lain lebih beruntung, lihat status orang jadi baper, merasa tersia-siakan tidak bisa seperti orang lain.

Sayang energi, waktu, dan hidup jika mewarnai hidup demikian. Hal-hal menarik jauh lebih banyak, jika mau sejenak bersyukur dan mewarnai hidup dengan merasa cukup.

Salam

Inspirasi: Listen Like a Dog

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun