Wacana mantan terpidana dilarang nyaleg sebenarnya sangat baik untuk membuat efek jera. Selama ini mana ada koruptor takut atau khawatir, wong tetap kaya, nanti palingan pindah partai dan jadi pejabat teras lagi, dan nyaleg lagi, maling lagi pun masih bisa. Â Sejak awal pesimis kalau hal ini akan diterima dan disetujui oleh dewan dan parpol. Biasa pembelaan sok moralis dan hukum legalis yang ujung-ujungnya hendak menutup borok sendiri.
Efek jera sebagai pertanggungjawaban moral para pelaku korupsi belum ada. Tidak jarang bahkan ada yang sekeluarnya dari penjara malah "promosi" naik jabatan di partai lain. Kapan mau menyegah korupsi, kalau korupsi marak malah menyalahkan KPK yang dikatakan tidak berhasil. Lha mereka tidak mendukung kog, menyalahkan KPK yang kerja sendirian.
Hukuman bukan balas dendam, namun jika sangat luar biasa tidak punya  malunya, ya perlu pemberat yang jauh lebih lagi daripada sekadar normatif. Hal ini sering menjadi pembenar atas vonis yang menjadi polemik dalam masyarakat. Berkutat pada  prosedur dan atas nama hukum. Gak perlu membawa-bawa presiden lah, bosan baca komen begituan.
Selama ini seolah pemberantasan korupsi berjalan di tempat, seperti ulat atau semut yang dibakar malah menjadi semakin banyak. Dukungan setengah hati dari pihak-pihak yang telanjut keenakan. Jelas-jelas bahwa dewan masih termasuk yang  rawan korup. Apalagi terbukti ternyata laporan anggaran  oleh BPK pun bisa dipesan dengan nominal rupiah.
Mengapa seolah susah memotong mata rantai maling terutama berkaitan dengan parpol?
Kaderisasi mbelgedes yang hanya menghasilkan bandit demokrasi. Prestasi nol namun nama tenar dengan membeli. Uang yang dipakai tidak mungkin hasil kerja keras. Jika iya, tentu emanatau sayang untuk dihambur-hamburkan. Kondisi ini membuat ekonomi beaya tinggi politik.
Kader yang hanya mengandalkan uang, tentu akan mencari uang pengganti untuk modal awal. Nah di sinilah susahnya menciptakan sistem yang transparan dan bersih karena diawali dengan modal banyak dulu. Sisi sebelah di eksekutif pun tidak berbeda. Â Naik jabatan dan apalagi nyalon jadi bupati dan seterusnya bicara juga uang.
Partai politik selain malas kaderisasi juga malas dan kreatif untuk menghidupi partainya. Jangan harap bisa menjaid baik, jika parpol hanya mengandalkan iuran kader yang menjabat, dana dari APBN, dan model sejenis. Belum lagi jika malah menjual integritas partai demi proyek yang ujungnya  maling anggaran proyek.
Akibat lain adalah orang potensial namun tidak punya uang dan enggan maling, tersisih dan hanya menjadi penonton, komentator, atau menjadi apatis atas hidup bernegara. Menjadi kontraproduktif jika potensi ini malah salah jalan.
Dengan gagasan KPU ini sebenarnya akan sangat membantu melahirkan tata pemerintahan dan sistem bernegara yang lebih baik.
Bagaimana orang yang sudah pernah cidera integritasnya menjadi tersingkir. Jika demikian akan takut membuat pelanggaran integritas. Jika masih bisa balik lagi dan lagi, buat apa dibbuat KPK dan penuntutan atas maling anggaran, kan sama saja, toh uangnya masih banyak dan bisa apa saja.
Ekonomi biaya tinggi berpolitik bisa ditekan. Â Mengandalkan uang karena miskin prestasi bisa diminimalkan. Bukan tidak ada orang baik yang ada di bumi Nusantara ini, namun kalah karena uang para bandit yang bisa untuk apa saja itu.
Harapan kualitas dewan pun eksekutif lebih baik sedikitnya bisa terealisasi. Potensial politisi bersih namun miskin dan enggan main uang bukan tidak ada. Selama ini kalah oleh orang yang itu lagi itu lagi, pun main uang anggaran yang diambil dari negara atau uang rakyat. Cenderung yang main uang yang busuk namun ingin bersih. Menyuci integritas dengan suap dan membeli pemilih.
Ada dua efek sekaligus, menepikan orang cacat integritas pun memberikan kesempatan kepada orang yang selama ini belum ada kesempatan karena kalah uang itu menunjukkan kualitasnya. Haraan biarawan dan budayawan Magnis Suseno, SJ yang menyatakan pemilu bukan memilih yang terbaik namun menyingkirkan penjahat berkuasa bisa terealisasi. Â Ini bisa terjadi jika ada kehendak baik bersama.
Nampaknya masih jauh dari kenyataan karena toh KPU sendirian. Masih banyak maling berdasi yang berkeliaran di mana-mana. Tidak ada dukungan yang cukup besar untuk menjadikan ide ini sebuah keputusan yang baik.
Adil dan benar sejak dalam pikiran dan motivasi nampaknya masih perlu menjadi perhatian. Karena nyatanya sering niat baik dari satu pihak bisa menjadi bencana baik pihak lain yang merasa terancam, dan bisa  kalah karena alasan demokrasi. Padahal demokrasinya pun demokrasi akal-akalan yang masih pokoknya sebagai andalan.
Ide KPU ini hanya menjadi angin surga dan dukungan hanya dari rakyat, dan sebagian elit yang bersih. Padahal jauh lebih banyak yang sama-sama busuk, dan khawatir dengan keadaan dirinya sendiri atau kelompoknya yang bisa ikut terancam.
Jika selalu begitu, fokus pada kepentingan diri dan kelompok, ya negara jadi tumbalnya. Kepentingan bangsa dan negara malah kalah oleh parpol busuk. Â Apakah akan terus seperti ini?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H