Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Power of Emak-emak" dan Degradasi Kewibawaan Aparat

2 April 2018   05:20 Diperbarui: 2 April 2018   11:01 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan, tentu bukan semata sekolah. Keluarga, media, dan semua pihak untuk menghargai pihak lain. konsep saling menghargai, tentu akan mengurangi risiko memaki, menghakimi, dan menuding dengan seenaknya sendiri.

Agama dengan refleksi belum menjadi gaya hidup. Di sinilah peran agama bukan semata hafal, namun mengamalkan. Semua tentu paham apa itu menghormati sesama, apa itu adil, apa itu dosa, namun aplikasinya nol besar.  Agama bukan semata ritual, namun juga dilengkapi dengan pengamalan.

Keteladanan. Elit perlu banyak mengekang diri. Memberikan penghormatan, sikap respek pada lawan ataupun kawan. Sikap ini sangat rendah bahkan oleh elit, sehingga orang bisa seenaknya sendiri karena menyontoh dari yang dilihat sehari-hari.

Media, baik media sosial ataupun media arus utama memiliki peran penting. Rating dan oplah memang penting, namun mendidik anak bangsa juga tidak kalah pentingnya. Memberikan pengajaran melalui pemberitaan dan warta positif. Tidak semata provokasi dan kontroversi. Perlu berorientasi pada prestasi.

Penegakan hukum. Kasihan para korban. Tidak jarang juga pelaku dan korban sama-sama menderita. Namun perlu adanya, sikap tegas sehingga tidak menjadi pengulangan apalagi tabiat dan budaya yang sangat memalukan. Ketegasan menjadi salah satu sarana untuk menyiptakan tertib hidup bersama.

Pendidikan dan keteladanan yang mau mengukur diri, tidak cepat menuding, dan memiliki sikap empati dan menghargai pihak lain. Jika suka menyubit namun enggan disentuh, ya wajar negara ini lebih banyak geger dan huru hara daripada prestasi yang membanggakan.

Elit dan pejabat belajar menahan diri. Silakan berkelahi dengan gagah berani pada ranah yang tepat. Penggunakan kekerasan baik fisik atau kata menunjukkan kualitas rendah seorang pejabat. Emosional bukan kelasnya pejabat.  

Keterbukaan bukan berarti semua hal juga bisa diumbar begitu saja. Ternyata hal ini sering salah kaprah. Ada bahkan rahasia bisa menjadi konsumsi publik karena salah memaknai kebebasan.  Ada ranah yang memang harus rahasia, dan itu tidak menyalahi demokrasi. Masih perlu banyak belajar ternyata, apalagi elit. Demi populer dan disukai ngember, padahal sejatinya memalukan.

Apakah akan terus demikian hidup bersama itu? Makin berdab atau biadab yang dimaui?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun