Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Power of Emak-emak" dan Degradasi Kewibawaan Aparat

2 April 2018   05:20 Diperbarui: 2 April 2018   11:01 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: surabaya.tribunnews.com

Power of emak-emak dan degradasi kewibawaan aparat, hampir dalam semua lini hidup berbangsa  dan bernegara terjadi penurunan penghormatan akan aparat.  Berita pelecehan, pemakian polisi. Atau kekerasan pada guru oleh orang tua, bahkan anak murid. Miris sebenarnya.

Beberapa waktu lalu ada emak-emak ditilang polisi karena tidak mengenakan helm, eh ia menggigit polisi. Atau beberapa waktu lalu ada pegawai dari sebuah lembaga yang mengumpat polisi. Terbaru jelas anggota dewan yang mengatakan lembaga kementrian sebagai bangsat. Ada pula calon presiden yang menyematkan goblok dan maling pada elit lain yang tentunya dalam radar yang berseberangan dengannya.

Melengkapi guru yang dipukul murid hingga meninggal. Atau guru yang dihajar orang tua murid. Jauh hari lalu, ada anak SMA yang bisa mengancam polwan dan bebas begitu saja. Atau artis yang bisa mengata-ngatain petugas karena dilarang memasuki jalur larangan.  Deretan sehari semalam tidak ada habisnya jika memaparkan perilaku demikian.

Mengapa itu seolah menjadi gaya hidup baru berbangsa dan bernegara ini?

Media dan media sosial dengan viral-nya.Ketika kepopuleran menjadi gaya hidup baru, bukan soal prestasi, bahkan sensasi  pun jadi. Yang penting tenar dulu, mau baik atau buruk tidak ada pertimbangan. Ini bukan hanya media sosial. Media arus utama pun tidak jarang terimbas gaya dan pola penting populer ini.

Keteladanan. Bagaimana elit politik dan pejabat menebar kemaluan yang pentint tenar menjadi sebentuk politik gaya baru. Maaf meskipun murahan tidak menjadi pertimbangan. Hal ini menjadi contoh yang nyata bagi orang kebanyakan. Penghormatan dan kehormatan tidak menjadi bagian hidup bersama.

Penyelesaian yang  tidak tuntas. Atas nama budaya timur, sering kekerasan verbal diselesaikan dengan istilah damai yang tidak tepat itu. Penegakan hukum sebenarnya menjadi salah satu sarana untuk menertibkan orang yang seenaknya sendiri demikian.

Egoisme yang makin meningkat. Timbang rasa, menerapkan jika aku tidak mau dicubit jangan menyubit ternyata makin jauh. Ketika menuding menjadi sebuah gaya dan budaya baru.  Menuding dan menilai pihak lain sebagai salah dan tidak mau disalahkan ternyata menjadi gaya baru yang sangat masif.

Efek reformasi yang tidak semestinya. Memang bahwa aparat itu abdi, pelayan, dan bertugas untuk melayani masyarakat, namun bukan juga untuk menjadi bahan cacian, tuduhan, bahkan perilaku kekerasan dengan tidak semestinya. Dalih kebebasan karena lama dalam tekanan pemerintahan represif bukan pembenar perilaku ini.

Siap iri dan merasa korp, lembaga, badannya yang paling hebat. Fanatisme sempit ini sering menjadi masalah dalam hidup berbangsa. Lihat saja berkelahian polisi militer, atau antarprofesi, marak jelas soal pangkalan dan online.

Perbaikan dari pihak aparat tidak kurang-kurang, kerja keras bisa menjadi sia-sia, jika perilaku pihak lian tidak berubah dan ikut bebenah. Apa yang bisa dilakukan?

Pendidikan, tentu bukan semata sekolah. Keluarga, media, dan semua pihak untuk menghargai pihak lain. konsep saling menghargai, tentu akan mengurangi risiko memaki, menghakimi, dan menuding dengan seenaknya sendiri.

Agama dengan refleksi belum menjadi gaya hidup. Di sinilah peran agama bukan semata hafal, namun mengamalkan. Semua tentu paham apa itu menghormati sesama, apa itu adil, apa itu dosa, namun aplikasinya nol besar.  Agama bukan semata ritual, namun juga dilengkapi dengan pengamalan.

Keteladanan. Elit perlu banyak mengekang diri. Memberikan penghormatan, sikap respek pada lawan ataupun kawan. Sikap ini sangat rendah bahkan oleh elit, sehingga orang bisa seenaknya sendiri karena menyontoh dari yang dilihat sehari-hari.

Media, baik media sosial ataupun media arus utama memiliki peran penting. Rating dan oplah memang penting, namun mendidik anak bangsa juga tidak kalah pentingnya. Memberikan pengajaran melalui pemberitaan dan warta positif. Tidak semata provokasi dan kontroversi. Perlu berorientasi pada prestasi.

Penegakan hukum. Kasihan para korban. Tidak jarang juga pelaku dan korban sama-sama menderita. Namun perlu adanya, sikap tegas sehingga tidak menjadi pengulangan apalagi tabiat dan budaya yang sangat memalukan. Ketegasan menjadi salah satu sarana untuk menyiptakan tertib hidup bersama.

Pendidikan dan keteladanan yang mau mengukur diri, tidak cepat menuding, dan memiliki sikap empati dan menghargai pihak lain. Jika suka menyubit namun enggan disentuh, ya wajar negara ini lebih banyak geger dan huru hara daripada prestasi yang membanggakan.

Elit dan pejabat belajar menahan diri. Silakan berkelahi dengan gagah berani pada ranah yang tepat. Penggunakan kekerasan baik fisik atau kata menunjukkan kualitas rendah seorang pejabat. Emosional bukan kelasnya pejabat.  

Keterbukaan bukan berarti semua hal juga bisa diumbar begitu saja. Ternyata hal ini sering salah kaprah. Ada bahkan rahasia bisa menjadi konsumsi publik karena salah memaknai kebebasan.  Ada ranah yang memang harus rahasia, dan itu tidak menyalahi demokrasi. Masih perlu banyak belajar ternyata, apalagi elit. Demi populer dan disukai ngember, padahal sejatinya memalukan.

Apakah akan terus demikian hidup bersama itu? Makin berdab atau biadab yang dimaui?

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun