Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Suster Maria Yudit

21 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 21 Maret 2018   14:31 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Ya Allah, bersegerah menolong aku......

Tuhan...perhatikanlah hamba-Mu....

Lagu itu sudah menguar dari kapel besar...sedang aku masih 50-an meter dari sana....dingin dini hari di ketinggian 1500 dpl, lereng Merbabu dengan hamparan hutan pinus dan kebun trappis. Segarnya bunga kopi, lenguhan sapi dan aroma kotorannya, sungguh menyegarkan pagi yang masih sangat dini ini.

Pagi kelima aku terlambat lagi, dan aku tahu Suster Abdis *,akan mendelik tanpa senyum namun dengan sorot mata memahami. Dan kali ini pasti usai makan pagi sebelum kelas beliau akan memanggil ku.

"Yan, usai bebersih, sebelum kelas kita berbincang sebentar, bisa?"

Aku kaget dan tergeragap, beliau menyebut nama pribadi, bukan dengan sebutan suster atau nama biara, sambil beliau menepuk bahuku dan tersenyum sangat manis. Usai makan pagi, biasanya ada sedikit waktu untuk urusan pribadi dan seikit bebersih lingkungan. Aku hampir menangis menerima perlakuannya.

Sambil menyapu kamar dan urusan di kamar kecil aku tahu apa yang akan menjadi pembicaraan. Aku beberapa hari terlambat ikut ibadat pagi, pukul 2.30 dini hari. Bayangkan, dingin lereng gunung lagi.

Pukul 20.00 waktu masuk kamar, semua lampu padam, dan kami harus beristirahat. Namun beberapa hari ini aku sulit memejamkan mata dengan segera. Pelupuk mata seolah ada pas photo Kapten Penerbang Albertus Arya Dirgantara. Gantengnya dengan senyum khas ketika menjemput, atau pertama kali berkenalan di media sosial dengan gambar ketika masih menjadi taruna. Tidak jauh berbeda sih.

Kami sempat dekat, pacaran lah sekitar setahun. Nonton, jalan, dan makan menjadi rutinitas jika jadwal libur bisa bareng. Komentar keluarga dan teman sangat positif, sama-sama prajurit bisa mengerti, lulusan terbaik dari matra dan tahun yang berbeda, dunia yang identikpokoknya.

Semalam, aku abai, ikuti kata hati melow, malah ngelamun....dan jadinya bel ibadat pagi tidak dengar dan akan menghadap Suster Marieta sebentar lagi. Aku tahu persis apa yang akan aku katakan dan apa yang akan ditanyakan.

Tok....tok....aku ketok kamar Abdis dua kali, dan menunggu,

"Masuk Yan..."

"Pagi Suster...."

"Ayo duduk,....gimana di sini mulai kerasan?" sambil tersenyum seperti ibu, bukan kepala biara yang sering sadis dan tidak kenal belas kasihan itu.

Aku malah jadi menangis dan langsung beliau berdiri dan memelukku erat banget.

"Kamu mau telpon masmu?" tanyanya tanpa basa-basi.... Entah orang Barat satu ini kadang Timur banget kadang Baratnya juga keterlaluan.

Aku tidak bisa menjawab, bingung juga, kan membiara, eh malah ditanya mau telpon mantan lagi. Ada-ada saja sih suster kepala ini. Aku diam saja.

"Kamu bangun kesiangan karena melamun kan?" tetaknya tanpa ampun, tapi nadanya lembut dengan sorot tidak menuduh, tidak juga menghakimi, malah memahami jiwa mudaku.

"Tidak perlu telpon Suster," jika demikian, jauh lebih sulit malah untuk melangkah ke depannya.

"Kamu tahu mengapa memanggil nama kecilmu?" malah ke mana juga arahnya dia ini.

Aku Cuma menggeleng sambil bingung.

"Usiamu, bukan belia, kamu dewasa, jika kamu aku tangani sama dengan yunior yang lulusan SMA itu tidak adil, aku tahu banget, apa yang kamu rasakan. Toh aku pernah muda juga, jatuh cinta juga, dan syukur aku dulu mendapat pendamping yang sangat pengertian. Aku memutuskan maju dengan sangat bebas. Tidak lagi ragu atau merasa menyakiti yang ada di belakang sana..." tuturnya panjang lebar.

Senyumku di antara lelehan air mata bahagia. Dimengerti, dipahami, dan bukan dihakimi. Sekilas aku melirik jam dinding, dan beliau paham. "Kelasnya pindah ke sini Yan, kamu pelajaran di sini, kelas tidak membantumu, pun untuk tarekat. Dengan seperti ini kamu pun belajar regula**, dan bukanlah jadwalnya memang regula ordo?"

Aku hanya mengangguk. Penerimaan dan pengertian sungguh sangat berarti.

Pertemuan dan kelas pagi beberapa waktu lalu membuatku makin mantab atas pilihan hidup ini, seumur hidup mengurung diri di lereng Merbabu dengan iringan lenguh sapi dan jangkrik di setiap malam. Aktivitas harian dengan silentium magnum***.Pilihan yang membuat banyak yang kaget, apalagi Arya. Ibu sih tertawa saja, sama ketika aku memutuskan untuk masuk KOWAD. Sejak kecil aku selalu menjawab mau jadi suster karena baju putih dan slayer putihnya menarik banget. Lulus SMA aku malah masuk AKABRI dan lolos.

Pendidikan empat tahun aku jalani dengan sangat wajar. Pelantikan di istana juga sangat normal, apalagi kebanggaanku  meledak rasanya ketika disebutkan sebagai lulusan terbaik dari matra darat dan perempuan lagi.

Penempatan pertama, syukur tidak jauh-jauh amat dari rumah. Itu yang membelokkanku kini di penjara sunyi yang menggembirakan ini. Bel ibadat bacaan sudah berbunyi. Aku bergegas menuju kapel, dan alur jubah putih hitam keluar dari masing-masing kamar menuju ke satu tujuan, semua dalam diam, dengan membawa brevir****masing-masing. Menekuri lantai, bukan karena patah semanag apalagi patah hati, untuk mencoba menyadari berjalan sebagai berjalan. Kapan kaki melayang, kapan menapak lantai, dan bagaimana langkah itu bukan semata spontanitas. Hal yang sangat baru, bagaimana aku dulu langkah tegap, derap yang teratur, mata lurus ke depan.

Perbincangan pagi lalu yang sangat mengubah hidupku. Hari demi hari aku lalui dengan cerah ceria.

"Suster Yudith, ke kamar sebentar, " sapa Suster Marieta dengan serius, dengan sorot mata penuh senyum itu.

"Ini, bukalah...."

"Apa Suster?" aku bingung.

"Lamaranmu....."

Aku buka dengan berdebar-debar, bagaimana aku diterima atau tidak. Dan aku diterima, tanggal 31 bulan ini aku diperbolehkan mengucapkan kaul pertamaku.

"Profisiat Yan," kembali sapaan khas itu yang muncul. Sambil dipeluknya aku seperti kala ibu memelukku bahagia.

"Arya kamu undang..."  nama lama yang sangat susah aku hilangkan itu diingatkan.

Aku mengangguk mantab, dengan senyum lebar. Beliau menjabat tanganku dengan menepuk-nepukan telapak tangan di atas telapakku dengan gagah.

Aku melangkah ke depan altar....

Lagu yang membuat merinding itu, mau menumpahkan tangis, namun ini baru mulai. Ketika ucapan kaulku ucapkan dengan tenang, pelahan, namun mantab, dan diterima dengan yakin oleh Suster Jenderal, misa dilanjutkan. Sederhana namun khitmat.

Siapa yang datang dari keluarga aku tidak tahu, yang jelas undangan dikirim oleh suster kepala atas permintaanku. Apalagi aku sendiri yang berkaul pertama.

"Selamat ya...." masih dalam pelukan ibu aku mendengar suara empuk namun tegas itu.

"Makasih, Kept," aku bingung mau bagaimana. Apalagi masih cukup banyak undangan dan tamu yang datang untuk mengucapkan selamat. Aku masih sibuk bincang-bincang dengan banyak tamu, ketika Suster Abdis, menjawil, "Yan, temui Arya..." Kaget dan lucu juga.

"Apa khabar," aku sapa kapten gagah yang sedang mendampigi ibu makan sate. Ia membelakangi aku.

"Oh, baik-baik, selamat ya sekali lagi....kamu tambah gemuk...." dengan binar yang sama dengan dulu, namun sangat berbeda warnanya.

Kami tertawa barengan, ini masa "bebas" karena sedang acara kaul, kami boleh berbicara.

"Ada kejutan nih..." ia mengangsurkan undangan.

"Dengan orang mana, dan kapan?" aku bahagia, tulus ikut bahagia.

"Buka dulu...." selorohnya dengan muka menggoda.

Aku buka, ternyata itu undangan hanya luar yang ia buat sendiri, dan di dalamnya adalah surat penerimaan masuk ke novisiat***** salah satu ordo.

"Aku ikuti jejakmu...."katanya sumringah dan bahagia.

 Salam

 Keterangan:

*Suster kepala biasa trapis, pertapa

**Peraturan hidup membiara

***Diam, tanpa bicara jika tidak sangat penting.

****Buku kumpulan ibadat harian

*****Jenjang pertama calon biarawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun