"Masuk Yan..."
"Pagi Suster...."
"Ayo duduk,....gimana di sini mulai kerasan?" sambil tersenyum seperti ibu, bukan kepala biara yang sering sadis dan tidak kenal belas kasihan itu.
Aku malah jadi menangis dan langsung beliau berdiri dan memelukku erat banget.
"Kamu mau telpon masmu?" tanyanya tanpa basa-basi.... Entah orang Barat satu ini kadang Timur banget kadang Baratnya juga keterlaluan.
Aku tidak bisa menjawab, bingung juga, kan membiara, eh malah ditanya mau telpon mantan lagi. Ada-ada saja sih suster kepala ini. Aku diam saja.
"Kamu bangun kesiangan karena melamun kan?" tetaknya tanpa ampun, tapi nadanya lembut dengan sorot tidak menuduh, tidak juga menghakimi, malah memahami jiwa mudaku.
"Tidak perlu telpon Suster," jika demikian, jauh lebih sulit malah untuk melangkah ke depannya.
"Kamu tahu mengapa memanggil nama kecilmu?" malah ke mana juga arahnya dia ini.
Aku Cuma menggeleng sambil bingung.
"Usiamu, bukan belia, kamu dewasa, jika kamu aku tangani sama dengan yunior yang lulusan SMA itu tidak adil, aku tahu banget, apa yang kamu rasakan. Toh aku pernah muda juga, jatuh cinta juga, dan syukur aku dulu mendapat pendamping yang sangat pengertian. Aku memutuskan maju dengan sangat bebas. Tidak lagi ragu atau merasa menyakiti yang ada di belakang sana..." tuturnya panjang lebar.