Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Amuk dan Gerudug, Sama Hasil dan Beda Alasan

20 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 20 Maret 2018   06:23 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Amuk dan gerudug, sama hasil dan beda alasan, beberapa waktu lalu, ada rekan Kompasianer yang terkena keadaan buruk atas statusnya dalam media sosial. Beberapa hari lalu, sebuah media mendapatkan gerudugan dan harus meminta maaf atas sebuah tayangannya. Gerudug untuk memaksakan kehendak, padahal ada jalur lain yang jauh lebih beradab, bermartabat, dan tertib hukum sebenarnya.

Amuk, salah satu kata serapan dalam bahasa Inggris, amuck,berasal dari bahasa Indonesia, miris ketika ada kata kerja yang diserap bahasa asing, eh bernuansa negatif, mengamuk tentu semua paham. 

Namun awalnya, amuk atau amok, itu adanya kegelisahan, kedongkolan memuncak yang tidak bisa dilampiaskan. Akhirnya mengamuk, namun perlu dicatat mereka tidak hendak melukai, merusak, apalagi sampai membunuh. Mungin seperti anak kecil yang tantum,ngambeg guling-guling, tanpa tahu harus berbuat apa.

Gerudug, datang beramai-ramai untuk menyuarakan sesuatu, bisa suara, bisa pendapat, bisa gagasan. Menjadi masalah adalah ketika gerudugan itu membuat onar, memaksakan kehendak, dan memaksa orang atau kelompok lain menyamakan persepsinya dengan pemahaman penggerudug. Jika ini terus diulang, peradilan jalanan dan pokoknya banyak orang dan kelompok yang merasa benar akan mejadi sebuah tabiat baru. Gaya pemaksaan kehendak baru.

Tidak ada salah dengan amuk atau gerudugan, ketika memang itu satu-satunya jalan ata cara. Sama juga dengan boikot, tidak ada yang salah, sepanjang memang jalan lain sudah buntu. Menarik adalah gerudugan inipun akan dilakukan jika melalui jalur peradilan. 

Mengepung pengadilan, tempat untuk mengadili yang netral pun akan ketakutan. Ketakutan dalam arti yang sangat luas. Bisa takut gedungnya rusak, kerusuhan yang lebih besar, dan sebagainya. Akhirnya keadilan dan kebenaran itu pun kalah dan latah sama dengan gerudugan yang ada. Keadilan dan kebenaran tetap apa kata kelompok penggerudug.

Menarik melihat fenomena ini, bagaimana sering aparat, penegak hukum, dan pemerintah gagap menghadapi karena adanya "ancaman" label yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Jadi mereka akan bisa melakukan apa saja karena pembiaran sekian lama. Jangan katakan ini  baru sekali dua kali atau karena ini dan itu, apalagi pemerintahnya. Jauh dari itu.

Penegakan hukum tidak akan mempan, sepanjang masih saja diwarnai dengan pola pendekatan besar kecil atau mayoritas minoritas yang didengung-dengungkan. Selalu saja demikian, memainkan peran korban ketika mendapatkan posisi terjepit namun mengebug ketika mendapatkan angin segar.

Hukum jelas berdasar Pancasila dan UUD 45 dengan segala turunannya. Bagaimana bisa penyelesaian jalanan ini masih mempan di negara yang mengaku beragama dan demokratis ini. Mana ada sih agama yang mengajarkan boleh memaksa pihak yang berbeda, atau berbeda itu musuh? Tidak ada bukan?

Pun bangga menglaim salah satu negara demokratis terbesar di dunia, namun perilakunya jauh dari ciri demokrasi. Masih maaf kurang beradab ketika mengandalkan kekuatan dan kekerasan. Okol masih berbicara daripada otak. 

Memang keduanya adalah karunia Sang Pencipta, namun jika naluriah dan masih instingtif, apa namanya coba? Beda hewan dan manusia adalah penggunakan otak daripada okol dan otot.

Pengadilan memang masih belum bisa diyakini kenetralannya, keadilannya, dan keobyektifannya, namun bukan berarti bisa menekan, mengeroyok dengan menggerudug, dan "meneror" demikian. Jika mengutuk keburukan dengan perilaku lebih buruk ya tidak ada bedanya. Perlu pemikiran baru, memperbaiki keadaan buruk bukan dengan jalan yang sama buruknya.

Keteladanan dan sikap positif dari atas. Suka atau tidak perilaku priayi, pesohor, pejabat itu masih kuat dalam diri masyarakat bangsa ini. Di sanalah peran para pemuka dituntut bisa berbuat yang terbaik. 

Repotnya, malah mereka ini sering membuat kekacauan karena mereka tahu dengan itu mendapatkan keuntungan. Di sinilah masalah itu. Pejabatnya sendiri sering berkelindan, sering memanfaatkan kelompok yang suka memaksakan kehendak.

Entah sampai kapan model keroyokan dan meneror dengan kedatangan berombongan ini bisa diatasi. Kehendak baik semua pemangku kepentingan nampaknya diharapkan partisipasinya. Jika tidak ada perbaikan, jangan harap bangsa ini bisa lebih baik dan beradab.

Bagaimana bisa terjadi orang bisa dituduh memfitnah, dituduh melakukan kejahatan atas persepsi kelompok, bukan atas kebenaran tafsir peradilan. Buat apa gaji hakim mahal-mahal toh kalah oleh gerombolan dengan suara keras, pas ena batunya mewek  keras juga?

Saatnya bebenah, berikan proporsi dan porsi pada tempatnya. Jangan semua-mua dicampur aduk. Es campur enak dan seger kalau hidup dicampur-campur ya kacau. Politik ada tempatnya sendiri, media pun demikian, agama juga, semua ada porsi dan proporsinya.

Tidak perlu agama disangkutkan dengan politik, hukum positif ditafsirkan dengan hukum agama. Jelas ini bukan antiagama atau berbicara agama apa, namun soal pemisahan dan pemilahan yang baik dan semestinya.

Gerudug, datang berombongan untuk mengepung, belum tentu mengeroyok, namun potensi terintimidasi yang didatangi sangat besar.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun