Amuk dan gerudug, sama hasil dan beda alasan, beberapa waktu lalu, ada rekan Kompasianer yang terkena keadaan buruk atas statusnya dalam media sosial. Beberapa hari lalu, sebuah media mendapatkan gerudugan dan harus meminta maaf atas sebuah tayangannya. Gerudug untuk memaksakan kehendak, padahal ada jalur lain yang jauh lebih beradab, bermartabat, dan tertib hukum sebenarnya.
Amuk, salah satu kata serapan dalam bahasa Inggris, amuck,berasal dari bahasa Indonesia, miris ketika ada kata kerja yang diserap bahasa asing, eh bernuansa negatif, mengamuk tentu semua paham.Â
Namun awalnya, amuk atau amok, itu adanya kegelisahan, kedongkolan memuncak yang tidak bisa dilampiaskan. Akhirnya mengamuk, namun perlu dicatat mereka tidak hendak melukai, merusak, apalagi sampai membunuh. Mungin seperti anak kecil yang tantum,ngambeg guling-guling, tanpa tahu harus berbuat apa.
Gerudug, datang beramai-ramai untuk menyuarakan sesuatu, bisa suara, bisa pendapat, bisa gagasan. Menjadi masalah adalah ketika gerudugan itu membuat onar, memaksakan kehendak, dan memaksa orang atau kelompok lain menyamakan persepsinya dengan pemahaman penggerudug. Jika ini terus diulang, peradilan jalanan dan pokoknya banyak orang dan kelompok yang merasa benar akan mejadi sebuah tabiat baru. Gaya pemaksaan kehendak baru.
Tidak ada salah dengan amuk atau gerudugan, ketika memang itu satu-satunya jalan ata cara. Sama juga dengan boikot, tidak ada yang salah, sepanjang memang jalan lain sudah buntu. Menarik adalah gerudugan inipun akan dilakukan jika melalui jalur peradilan.Â
Mengepung pengadilan, tempat untuk mengadili yang netral pun akan ketakutan. Ketakutan dalam arti yang sangat luas. Bisa takut gedungnya rusak, kerusuhan yang lebih besar, dan sebagainya. Akhirnya keadilan dan kebenaran itu pun kalah dan latah sama dengan gerudugan yang ada. Keadilan dan kebenaran tetap apa kata kelompok penggerudug.
Menarik melihat fenomena ini, bagaimana sering aparat, penegak hukum, dan pemerintah gagap menghadapi karena adanya "ancaman" label yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Jadi mereka akan bisa melakukan apa saja karena pembiaran sekian lama. Jangan katakan ini  baru sekali dua kali atau karena ini dan itu, apalagi pemerintahnya. Jauh dari itu.
Penegakan hukum tidak akan mempan, sepanjang masih saja diwarnai dengan pola pendekatan besar kecil atau mayoritas minoritas yang didengung-dengungkan. Selalu saja demikian, memainkan peran korban ketika mendapatkan posisi terjepit namun mengebug ketika mendapatkan angin segar.
Hukum jelas berdasar Pancasila dan UUD 45 dengan segala turunannya. Bagaimana bisa penyelesaian jalanan ini masih mempan di negara yang mengaku beragama dan demokratis ini. Mana ada sih agama yang mengajarkan boleh memaksa pihak yang berbeda, atau berbeda itu musuh? Tidak ada bukan?
Pun bangga menglaim salah satu negara demokratis terbesar di dunia, namun perilakunya jauh dari ciri demokrasi. Masih maaf kurang beradab ketika mengandalkan kekuatan dan kekerasan. Okol masih berbicara daripada otak.Â
Memang keduanya adalah karunia Sang Pencipta, namun jika naluriah dan masih instingtif, apa namanya coba? Beda hewan dan manusia adalah penggunakan otak daripada okol dan otot.