Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kejamnya Demokrasi, Nama-nama Besar yang Tenggelam dalam Pilpres

10 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 10 Maret 2018   06:45 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejamnya demokrasi , nama-nama besar yang tenggelam dalam pilpres, malah kalah dengan yang tidak terduga, seperti Hamzah Has, Jusuf Kalla, dan Boediyono, termasuk juga Joko Widodo. Siapa yang menyangka nama-nama itu mengalahkan nama Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Yusril Ihza Mahendra, atau Rizal Ramli yang selalu masuk dalam pembicaraan dalam gelaran pilpres. Eh malah mereka yang jarang disebut malah pernah duduk di sana, dan yang selalu nyaring terdengar dan mengaku siap malah sampai saat ini sama sekali belum sempat merasakannya.

Nama fenomenal era reformasi bersama Mega adalah Sri Bintang Pamungkas. Nama yang seolah melambangkan perlawanan terhadap rezim Soeharto kala itu. Dengungan Mega Bintang, pada pemilu 1997 demikian kencang. Seolah begitu runtuhnya Orba akan dengan mulus menjadi duet pimpinan nasional yang baru. Eh malah tiba-tiba muncul nama almarhum Gus Dur yang ada dalam tampuk pimpinan nasional.

Intrik dan dinamika politik yang sangat wajar, belum lama mengalami kebebasan, membuat pemerintahan tidak dengan mulus meluncur sebagaimana ide revormasi. Tiba-tiba ada nama Hamzah Haz yang menduduki kursi wakil presiden, menepikan nama besar duet Mega Bintang itu.

Nama berikut yang sangat besar namun toh juga tidak laku ada dalam diri Amien Rais. Bersama almarhum Gus Dur, sebenarnya ada potensi yang tidak main-main. Akademisi, lulusan Amrik, dan juga pelaku yang cukup berani menentang rezim Orde Baru. Pengalaman di mana-mana pun pimpinan salah satu ormas terbesar bisa menjadi bekal untuk maju dalam perhelatan dalam pilpres. Namun ternyata juga tidak cukup kuat dan besar, dan tenggelam oleh nama baru yang belum lagi sebesar namanya dalam diri Susilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla.

Pasangan SBY dan JK bukan nama sembarangan, namun kaliber mereka berdua, apalagi jika berkaitan dengan lahirnya reformasi tidak ada apa-apanya. Ternyata nama dan aksi saja tidak cukup. Bisa dikalahkan oleh yang bukan siapa-siapa.

Yusril Ihza Mahendra, akademisi, praktisi, dan pelaku politik yang malang melintang dalam banyak pemerintahan. Beberapa kali mengalahkan pemerintah dalam sengketa hukum, namun toh juga tidak cukup kuat untuk bisa menjadi wakil presiden sekalipun. Malah kalah dengan Boediyono yang bukan siapa-siapa dalam kancah perpolitikan dan hiruk pikuk bursa capres dan cawapres. Pulung,nampaknya jauh lebih berbicara atau dewi fortuna. Meskipun tidak sepenuhnya demikian.

Aktivitas politik dan kemampuan dalam tata negara saja tidak menjamin, dalam kontestasi perpolitikan toh tidak menjamin. Sekelas bakal calon gubernur saja toh tidak bisa. Padahal kurang apa coba, partainya pun tidak pernah bisa bersaing dalam papan bawah sekalipun. Pada zona degradasi iya, jika bicara bola.

Rizal Ramli yang jawara dengan istilah jurus kepretnya, merasa diri layak jadi pemimpin negeri ini. toh setali tiga uang dengan nama-nama lain. Kemampuan, pengalaman, dan banyaknya komentar dan wacana yang digulirkan pun tidak kurang. Namun kembali sama saja, mau nyagub di Jakarta pun tidak cukup mampu berbicara lebih lanjut. Kini berbicara pilpres 2019, juga tidak akan banyak bisa bergerak.

Nama-nama dari klan Cendana. Setiap gelaran pilpres, nama-nama Tutut atau Tommy pasti dibicarakan. Nama Soeharto memang besar, namun nama putra putrinya tidak. Melalui partai lain atau kini dengan kendaraan sendiri toh nampaknya juga tidak bisa lebih jauh. Selain hanya terdengar dan nyaring sejenak.

Demokrasi mengandaikan nama besar, tenar, dan tentu akan dipilih oleh pemilih. Salah satu saja lepas, apalagi pemilih, ya sudah tidak akan bisa menjadi apa-apa. Apakah itu kesalahan atau kelemahan pribadi itu? Jelas bukan, karena sistem yang berlaku. Konsekuensi atas pilihan satu orang satu suara memang akan menghasilkan apa yang bisa tidak terduga, jika tidak mampu meyakinkan sekian besar pemilih.

Risiko politik beaya tinggi bisa makin besar jika tokoh yang merasa besar itu tidak yakin akan dipilih. Menjamin keterpilihan, jalan pintas membeli suara. Atau untuk mengalahkan calon yang jauh lebih meyakinkan, akan dengan mudah menebarkan uang dan melakukan fitnah dan kampanye hitam. Sangat logis.

Semakin banyak orang merasa mampu namun tahu kondisi sangat tidak mudah, akan muncul pencemaran lingkungan dengan berbagai banner,iklan diri, dan narsismepolitis yang merusak pemandangan. Kampanye dengan berbagai cara, dan bisa saja uang atau modalnya tidak jelas, ujung-ujungnya adalah ketika menjabat akan mencari balikan modal. Korup menjadi gaya pemerintahan dan gaya kinerjanya. Termasuk menjadi legeslator tentunya.

Korupsi itu konsekuensi logis atas politik bea tinggi. Berteriak korupsi harus bersih tanpa membersihkan sistem politik mahal, ya sama saja omong kosong. Diperpatah budaya instan bukan budaya proses yang menjadi panglima.

Memang tidak mesti yang buruk dan tamak yang menang dalam demokrasi, bisa juga menyingkirkan yang tamak dan jahat dari kemungkinan menang jika memang rakyat sudah melek politik. Apakah itu mungkin? Sangat mungkin, harapan masih ada.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun