Alasan korupsi itu marak dan seolah benar, beberapa pihak dan pelaku korupsi merasa kalau perilakunya tidak salah. Dapat dilihat dengan pernyataan koruptor yang ditangkap mengatakan kalau dia lagi apes. Jelas bukan kalau tidak apes, korup jalan terus. Ada juga yang lebih gila lagi, itu rezeki dari Tuhan tidak patut ditolak.Â
Entah sableng, setres karena ketangkap, atau memang demikian pemahaman "salehnya". Perilaku lain yang menyatakan karena gaji kecil, sehingga terjadilah korupsi, lha kan sejak awal sudah tahu kalau gajinya segitu, mengapa beli suara juga? Beberapa hal sangat wajar menjadikan bangsa ini melakukan korupsi namun seolah itu benar. Alasan itu ada yang serius namun ada juga yang asal, seperti pendapat koruptor kalau rezeki tidak layak ditolak itu.
Alasan Kesalehan dan Relasional  yang sesat, awalnya, apalagi budaya Timur sangat mengedepankan ucapan terima kasih dan panuwun dengan tulus. Pemberitan tip dan uang receh lah istilahnya. Awalnya suka rela dan karena memang benar-benar tulus sebagai ungkapan syukur. Menjadi sesat dan salah, ketika besarannya ditentukan dan wajib.Â
Lucu juga ungkapan terima kasih kog wajib dan besarannya ditentukan. Bentuknya bukan lagi uang receh atau uang kecil, malah jadi lebih gede. Tidak heran ada anekdot laporan kambing hilang ikut pula sapi melayang. Awalnya baik, tulus, dan bahkan spiritual.
Alasan Kasih Sayang. Tentu semua orang, mau pejabat atau rakyat melarat, pernah disuapi oleh orang tua, pembantu, atau siapapun waktu kecil. Nah ini gantian, ketika suapan yang ada itu menjadi kebiasaan, ada pihak lain yang menyuap dianggap sama dengan suapa kasih sayang dari orang tua. Menunjukkan sikap kasih sayang. Ya kalau duit sendiri masih mayan, repotnya adalah uang negara yang mengakibatkan kerugian di dalam banyak pihak.
Alasan romantis. Ini pacaran romantis kalau suap-suapan, banyak budaya juga pas pernikahan ada suap menyuap. Dipandang bagus, baik, dan memperlihatkan relasi yang maka suap menyuap dalam kaitan dengan jabatan juga baik. Gambaran relasi anak buah dan atasan yang mesra, pengusaha dan penguasa yang erat, dan legelatif dan eksekutif yang menjanjikan. Memang demikian, jika pengusaha gelisah, bisa-bisa pejabatnya kena semprot.Â
Pun anak buah yang tidak nyaman akan membuat kinerja buruk. Jika legelatif meradang, pembangunan bisa terhenti. Nah alasan romantis ini paling jamak terjadi dan ditemui. Demi romantisme relasional, akhirnya jadilah tahu sama tahu. Pun begitu pengantin itu, usai suap-suapan berantem pun ya terjadilah. Kalau yang ini jadi aman sentosa selalu. Beda dengan yang tidak ada suap-suapan biasanya legeslatif dan eksekutif ramai bak  pengantin lebih lima tahun usia perkawinan.
Alasan mentalitas kepemimpinan. Hal yang paling serius dan mendekati kenyataan, pandangan kalau pemimpin itu "pemilik", raja, dan ningrat yang harus mendapatkan penghormatan, upeti, dan bakti dalam aneka bentuk. Otonomi daerah sebagai salah satu solusi memeratakan pembangunan dan keadilan sosial ternyata telah menjadi batu sandungan yang tidak terkira. Salahnya bukan pada otonominya tapi bahwa sistem yang diciptakan ternyata membuka peluang menjadi raja kecil yang sekaligus bandit demokrasi.
Raja-raja kecil yang berperilaku bandit demokrasi ini menjarah rayah daerah "kekuasaannya". Tidak heran kalau yang kaya akan sumber daya alam, seperti tambang, hutan, dan sejenisnya akan dilihat pejabatnya juga kaya raya bak "raja" kecil. Sumber daya alamnya juga menjadi "miliknya" dengan dalih otonomi daerah bisa saja terbit perda, surat izin, dan sejenisnya yang membuat pundi-pundi mereka makin menggelembung.
Sikap ningkrat atau raja zaman dulu, semua di bawah kekuasaan adalah aset dan miliknya. Tanah, bahkan manusianya adalah kawula-nya yang perlu memberikan upeti dan sesembahan. Pola pikir demikian, maka tidak merasa bersalah meskipun rakyatnya miskin, jalanan rusak, dan fasilitasnya buruk. Yang penting mereka taat dan memberikan apa yang diinginkan. Sangat bercorak raja zaman kuno, hanya pakaian dan atributnya modern, pola pikir dan tindakannya sangat identik.
Berkaitan dengan maling dengan nama modern korupsi itu biasanya juga main perempuan (bukan soal biasa jender atau seksis, namun karena kebanyakan pelaku adalah laki-laki). Tidak sedikit bukan yang diketahui atau ditangkap sedang belaja, menginap, atau memberikan uangnya kepada "harem-haremnya".Â
Sangat identik dengan raja-raja dulu yang doyan dengan banyak selir sedang kerajaannya miskin tidak menjadi masalah. Masih berkutat pada hal-hal yang paling mendasar, perut dan sekitarnya. Nafsu paling primitif. Kekayaan dan kesenangan yang paling kuno. Meskipun berderet mobil mewah toh juga yang sejenis, "peliharaannya" masih juga yang itu ke itu. Perendahan ciptaan yang sekaligus Sang Pencipta sebenarnya.
Apakah akan dibiarkan naluri dan instingtif yang paling mendasar mendekati hewan seperti ini yang menguasai negeri kaya raya ini?  Hukum rimba, kesenangan duniawi yang masih menjadi panglima, dan kekuasaan tinggal  kekuasaan, sedang pembangunan dan kesejahteraan ya urus sendiri.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H