Muda usia lho, belum genap tiga puluh tahun. Tidak berlebihan jika ada kekuasaan "dilimpahkan" kepada kerabatnya, atas nama UU dan demookrasi memang tidak salah, kemudian kekayaannya meningkat dengan pesat, relasi dengan dewan harmonis, tidak pernah terdengar riak yang berarti, radar KPK perlu lebih awas dan membuka mat lebar-lebar dan telinga dengan baik.Â
Ada potensi tindak korup di sana. Kecurigaan yang berdasar banyak fakta yang ada demikian. Bahwa ini menjadi pembunuhan potensi "pengalihan" kekuasaan suami ke istri karena memang sukses, toh indikator lain bisa dijadikan fakta.Â
Suara-suara sumbang soal korup dan pemimpin korup sebenarnya tidak tiba-tiba kog, hanya orang enggan, kurang bisa memberikan fakta, dan adanya lingkaran kekuasaan yang sama-sama enak jadi diam atau memaksa diam suara yang akan timbul.
Ini soal mental, sikap batin, dan tabiat maling, bukan karena kurang makan, atau kepedulian untuk berbagi, karena toh semua ditumpuk. Berbagi pun bukan karena kerelaan hati, namun demi aman diri.
Ekonomi beaya tinggi politik dan pilkada perlu menjadi pertimbangan mendesak, daripada sekadar UU MD3 yang hanya mikir kursi dan amannya diri saja. Penyederhanaan parpol dengan pertimbangan rasional bukan karena ketakutan pihak-pihak yang ingin berkuasa dengan absolut. Jauh lebih tidak bermanfaat dengan banyaknya partai politik.Â
Maling, dihukum pas di dalam partai A besok bisa menjadi calon ini itu oleh partai B. Ini luar biasa rusaknya, hanya karena tenar, dna tentu lebih cerdik maling, kan sudah belajar banyak.
Hukuman sosial dengan menghukum partai pendukung kader korup, susahnya semua partai sudah terkontaminasi. Mau teriak keras pasti akan dihantam oleh godam korup dan kroni pendukung aksi korup. Susahnya mencari kader potensial dan berkualitas, eh malah kader maling menjadi-jadi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H