Jokowi Capres PDI-P, meneropong kandidat pendamping potensialnya. Berbagai langkah dan manuver sudah dilakukan partai politik pendukung Pak Jokowi, pun para ketua umumnya. Menarik dalam beberapa kesempatan ada dua ketua umum dari angkatan muda yang terkesan memang "diajak" dalam momen bersama Pak Jokowi. Cak Imin dalam peresmian operasional kereta dan Gus Romi dalam sebuah acara keagamaan. Baliho besar-besar dari keduanya juga sudah tampak di banyak tempat strategis.Â
Cak Imin dengan gagah dan percaya diri menyatakan cawapres 2019, sedang Gus Romi masih "malu-malu" dengan slogannya membangun Indonesia. Tentu banyak pula calon potensial yang bukan dari ketua umum parpol bahkan bukan dari parpol sekalipun.
Ketua umum partai politik memang memiliki sebuah posisi istimewa, sebagaimana Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, atau Romi. Tidak heran ketika ada Harry Tanu, Wiranto, hingga Prabowo perlu membuat partai untuk kendaraan sendiri.
Siapa yang sekiranya potensial dan bisa menjadi cawapres untuk Pak Jokowi?
PDI-P banyak orang berpikir Bu Mega akan meminta Pak Jokowi menggandeng Mbak Puan, namun nampaknya kecil dengan pertimbangan mosok PDI-P semua, meskipun Pak Jokowi bukan pengurus PDI-P tentu banyak dipahami jika Pak Jokowi toh kader banteng. Tidak elok jika keduanya PDI-P tentunya. Hitung-hitungan apapun sangat berat. Keuntungan dari tokoh dan keterwakilan perempuan memang bisa menjadi andalan untuk kampanye. Pemilih perempuan merasa terwakili. Namun nampaknya sangat kecil.
PKB dan P3 memang nampak dengan jelas untuk maju sebagai pendamping Pak Jokowi. Keduanya cukup memberikan angin untuk kalangan muda memang. Namun masih banyak celah yang cukup lemah. pretasi dari keduanya memang belum tampak dengan jelas. Memimpn partai pun demikian, belum bisa memberikan perubahan yang berarti.Â
Suara mereka juga relatif kecil. Trik capres dan cawapres memang sukse bagi Cak Imin di 2014 lalu. Mereka berdua memang memberikan gambaran agama tertentu yang selama ini posisi Jokowi sangat rentan dibenturkan dengan agama yang bisa dikover dengan keberadaan mereka dan latar belakang mereka.
PAN dengan Zulkifli Hasan, ini partai kecil yang banyak mau malah. Paling awal menjalin komunikasi baik kepada Pak Jokowi ataupun Bu Mega. Prestasinya minim, namanya juga tidak menjual, selain kontroversi berkaitan dengan kader  yang tersangkut korupsi. Pun suara PAN tidak beranjak dari itu-itu saja. Keuntungan yang bisa adalah keterwakilan dari Luar Jawa. Dan identik dengan Cak Imin dan Gus Romi memberi tameng soal meminggirkan agama oleh sebagian pihak selama ini pada sosok Jokowi.
Hanura dengan Wiranto. Suara minim, usia juga sudah terlalu tua, sikapnya selama ini juga belum menjanjikan sebagai seorang yang tegas dan lugas, banyak masalah di kementrian koordinatornya yang seharusnya bisa diatasi dengan cepat dan baik, malah berlarut-larut. Keuntungan yang jelas ada pada posisi militer. Suka atau tidak suka, latar belakang milier masih banyak yang suka dan berpikir kalau militer adalah solusi terbaik bagi bangsa dan negara ini.
Demokrat dengan Agus Yudoyono. Bakal calon yang baik, muda, masa depan bangsa, namun sangat minim prestasi dalam kancah politik dan birokrasi. Nama mungkin bisa menjual, namun untuk level RI-2 masih terlalu dini. Duduk di kementrian mungkin sebagai sarana belajar dan menempa pengalaman jauh lebih mungkin dan rasional. Hambatan psikologi Pak Beye dan Bu Mega juga menjadi sebentuk ganjalan yang tidak mudah.
Prabowo. Sebenarnya dengan bersama Pak Prabowo sangat menguntungkan dalam banyak segi, terutama secara politis. Bangsa yang seolah terbelah usai pilpres dan pilkada DKI bisa terajut kembali. Potensi ebih dingin bisa terjadi, dengan berbagai latar belakang yang ada selama ini bisa teratasi paling tidak terjembatani. Butuh sikap negarawan bukan politikus dari banyak pihak jika ini.
Profesional dan nonpartisan cukup banyak yang menjanjikan. Namun toh politik dan partai politik masih jawara. Apa yang terjadi bukan yang ideal dan terbaik namun kompromistis khas politik. Ada nama Pak Mahfud MD yang bisa menjadi banyak keuntungan sebenarnya. namun posisi nonpartisan selama ini, susah untuk bisa mengusung nama ini. PKB yang pernah menjadi partainya, cenderung pada nama lain.
Susi Pudjiastuti, tenar, tegas, dan jelas lugas. Profesional pada bidangnya, namun sangat resisten dalam banyak segi. Sebenarnya duet ini mirip dengan Jokowi-Ahok di Jakarta lalu. Satu penggebuk satu peneduh, satu cepat kadang kelewat, satu bisa meredam. Kembali bukan orang partisan yang cukup mengakar dalam perpolitikan bangsa. Kalangan perempuan dan profesional tentu sangat suka.
Sri Mulyani. Sosok perempuan besar yang layak sebenarnya menjadi RI-2, apalagi kemarin menjadi menteri terbaik dunia. Ketegasan dan integritasnya patut menjadi wapres. Pengalaman juga tidak kurang, pemilih profesional, akademis, dan perempuan tentu amat suka. Kembali soal bukan partisan. Resistensi orang partai nampak dalam jabatannya sebagai menteri apalagi periode lalu.
Ada nama lain yang sebenarnya sangat menjual, tetapi jelas sangat mahal pertaruhannya, Ahok. Siapa tidak kenal reputasi mereka berdua dalam duet. Sangat-sangat kecil peluang mengusung satu nama ini kalau tidak ingin malah lebih panas. Soal prestasi dan kerja sama jangan ditanya lagi. Mereka seolah duet striker yang sangat tahu apa yang dimaui masing-masing.
Kembali, mau pimpinan negara yang kenceng politisnya atau negarawan yang berorientasi bagi bangsa dan negara. Layak ditunggu ke depannya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H