Demokrasi ngajak gelut, ala pilkada serentak. Menarik, apa yang disajikan partai politik yang akan berlaga dalam pilkada serentak 2018 mendatang. Sedikit berbeda dengan serentak yang sudah, kali ini banyak tarik ulur dukungan, baik pada pribadi atau partai sekalipun.Â
Apa yang ditunjukkan PKS, Gerindra, dan PAN dengan menyodorkan nama untuk menjadi bakal calon wakil gubernur di Jatim seperti orang lamaran, kemudian ada isu bahwa mempelai laki-laki pribadi tidak baik. Karena posisi yang bimbang oleh mempelai laki-laki itu, ketiganya datang menyodorkan calon lain.Â
Apa  ini bukan ngajak gelut,mengajak bertengkar, kalau modelnya demikian. Agak mirip namun tidak sevulgar dan sekasar Jatim, Jateng pun demikian, PKB nampaknya mau mengajak Golkar dan Demokrat main belakang. Membelot dengan apa yang sudah dinyatakan  Golkar dan Demokrat yang mau mengusung Pak Ganjar.
Semua sih sah-sah saja bagi demokrasi dan politik yang masih belajar, politik yang masih coba-coba usai eforia karena puluhan tahun terbelenggu. Sepanjang hal ini tidak keterusan dan menjadi budaya berpolitik tidak beradab, masih lah bisa diterima.Â
Sebenarnya, sudah tidak lagi seharusnya demikian, sudah hampir 20 tahun usia reformasi, sudah sepatutnya dewasa di dalam berdemokrasi.
Pilkada Jatim. Bisa dimengerti kalau PAN, PKS, dan Gerindra mengajukan bakal calon ke pada bacagub Gus Ipul, sebagai salah satu dari dua pilihan yang lebih berpotensi jadi. Mengapa tidak Bu Khofifah, tentu ada hitung-hitungannya.Â
Menarik adalah mengapa tidak mengajukan saja sendiri memang kalau tidak salah mereka mendapatkan 25% suara pemilih, masih dalam ambang batas minimal mengusung kader mereka, karena PAN dan PKS mengusung satu nama untuk diajukan ke PKB atau Gus Ipul dan ada nama dari Gerindra. Sudah dipasangkan saja, kan cukup.Â
Usai kisah tragis dengan La Nyalla yang konon mengembalikan mandat, kemudian kelucuan Moreno, dilanjutkan penolakan Mbak Yenny, dan isu demikian dengan Pak Mahfud, ketiga partai ini sebenarnya masih bisa mengusung misalnya Anang dengan Kang Nyoto, atau Muklas Sidik. Masih ada kemungkinan, sepanjang bukan hanya demi kemenangan dan kursi semata.
Pilkada Jateng, yang santer adalah PDI-P dan kawan-kawan bersaing dengan Gerindra dkk, menarik apa yang diingini PKB dengan 10 kursinya hendak mengusung poros baru.Â
Apa yang ditampilkan PKB sebenarnya sah dan seharusnya demikian. Pemilik sura kedua, sepatutnya memiliki kader yang bisa diusung, jelas posisi Jateng-2 juga realistis.
Masalah klasik partai politik itu susah memiliki kader yang mumpuni, dalam hal kepemimpinan yang menjual. Selama ini jadi karena faktor-faktor lain, bukan prestasi, ketenaran bukan dalam dunia politik dan pemerintahan. Apa yang ditampilkan dua kelompok besar ini sejatinya, merupakan gaya berpolitik bangsa ini.Â
Model preman yang merebut bukan berusaha dengan cara yang elegan dan politik  bermatabat. Semua cara digunakan yang penting kursi dan kemenangan. Fasisme ternyata lebih kental di mana hasil membenarkan cara. Padahal tidak demikian seharusnya.
Kader frustasi atas model premanisme ngajak gelutini. Semua serba tidak pasti. Mau mengabdi dan menjalani kaderisasi dengan baik toh belum jaminan memberikan apa yang sepatutnya bisa digapai.Â
Penghargaan atas capaian belum ada. Bisa saja mengabdi bagi partai puluhan tahun, berdedikasi, berprestasi, namun kalah karena rekomendasi yang berbau uang. Tidak bisa disangkal lagi bagaimana sering partai berbicara apa di lapangan hasilnya apa.
Tidak perlu kaderisasi yang penting koneksi. Lha buat apa reformasi kalau begitu. Lihat saja bagaimana kolusi dan nepotisme jauh lebih liar an menyeluruh saat ini. Siapa saja  bisa menjadi apa saja sepanjang ada uang dan kapitalisasi dalam politik yang makin tidak bermutu itu. Hitung-hitungan  kali rupiah bisa menjadi kades hingga anggota DPR-RI.Â
Jangan heran kepentingan yang ada adalah mengembalikan modal. Jual beli jabatan, jual beli proyek, dan suap dalam berbagai jenis dan cara. Muaranya satu uang.
Pemberantasan korupsi sangat susah jika politik uang dalam pilkada dan pemilu tidak dibenahi. Mental preman yang main ngajak gelutdengan model seenak udelnya main ganti yang nampaknya tidak jauh dari tawar menawar sudah saatnya dihentikan.Â
Dulu politik uang dengan mengatakan ambil uangnya jangan coblos orangnya, mengajari rakyat maling, kini ubah, jangan ambil uangnya, tangkap pemberinya, dan gugurkan pencalonnya, berani?KPU, Bawaslu, dan Polri harus taat hukum dan perundang-undangan, toh masih ngeri dengan gerudugan massa yang masih menguasai. Hukum rimba lebih menguasai demokrasi akal-akalan ini.
Rakyat hanya diingat karena berkaitan dengan kursi. Suaranya yang bisa mengangsurkan kursi, dan suara pula yang berharga X rupiah. Ketika preman-preman berkedok politikus, ya akhrinya uang rakyat masuk pada kantong mereka sendiri, tanpa merasa bersalah sama sekali. Atas nama demokrasi rakyat dipecundangi.
Demokrasi ngejak gelutini menjengkelkan, namun juga sekaligus menggelikan. Ada nuansa curang yang amat, namun lucu melihat kebodohan dipampang di depan mata. Seperti dipalak oleh preman dengan tatoan tapi matanya penuh ketakutan.
Apakah hal ini yang akan terus ditampilkan bangsa besar ini? Kelucuan sekaligus kenaifan yang amat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H