Model preman yang merebut bukan berusaha dengan cara yang elegan dan politik  bermatabat. Semua cara digunakan yang penting kursi dan kemenangan. Fasisme ternyata lebih kental di mana hasil membenarkan cara. Padahal tidak demikian seharusnya.
Kader frustasi atas model premanisme ngajak gelutini. Semua serba tidak pasti. Mau mengabdi dan menjalani kaderisasi dengan baik toh belum jaminan memberikan apa yang sepatutnya bisa digapai.Â
Penghargaan atas capaian belum ada. Bisa saja mengabdi bagi partai puluhan tahun, berdedikasi, berprestasi, namun kalah karena rekomendasi yang berbau uang. Tidak bisa disangkal lagi bagaimana sering partai berbicara apa di lapangan hasilnya apa.
Tidak perlu kaderisasi yang penting koneksi. Lha buat apa reformasi kalau begitu. Lihat saja bagaimana kolusi dan nepotisme jauh lebih liar an menyeluruh saat ini. Siapa saja  bisa menjadi apa saja sepanjang ada uang dan kapitalisasi dalam politik yang makin tidak bermutu itu. Hitung-hitungan  kali rupiah bisa menjadi kades hingga anggota DPR-RI.Â
Jangan heran kepentingan yang ada adalah mengembalikan modal. Jual beli jabatan, jual beli proyek, dan suap dalam berbagai jenis dan cara. Muaranya satu uang.
Pemberantasan korupsi sangat susah jika politik uang dalam pilkada dan pemilu tidak dibenahi. Mental preman yang main ngajak gelutdengan model seenak udelnya main ganti yang nampaknya tidak jauh dari tawar menawar sudah saatnya dihentikan.Â
Dulu politik uang dengan mengatakan ambil uangnya jangan coblos orangnya, mengajari rakyat maling, kini ubah, jangan ambil uangnya, tangkap pemberinya, dan gugurkan pencalonnya, berani?KPU, Bawaslu, dan Polri harus taat hukum dan perundang-undangan, toh masih ngeri dengan gerudugan massa yang masih menguasai. Hukum rimba lebih menguasai demokrasi akal-akalan ini.
Rakyat hanya diingat karena berkaitan dengan kursi. Suaranya yang bisa mengangsurkan kursi, dan suara pula yang berharga X rupiah. Ketika preman-preman berkedok politikus, ya akhrinya uang rakyat masuk pada kantong mereka sendiri, tanpa merasa bersalah sama sekali. Atas nama demokrasi rakyat dipecundangi.
Demokrasi ngejak gelutini menjengkelkan, namun juga sekaligus menggelikan. Ada nuansa curang yang amat, namun lucu melihat kebodohan dipampang di depan mata. Seperti dipalak oleh preman dengan tatoan tapi matanya penuh ketakutan.
Apakah hal ini yang akan terus ditampilkan bangsa besar ini? Kelucuan sekaligus kenaifan yang amat.
Salam