Permisifnya dunia pendidikan kita, sebuah ironi, ketika pendidikan itu perlu disiplin dan kadang tegas tanpa kompromi, namun di sana-sini baik langsung atau tidak langsung sikap permisif itu terjadi. tidak heran jika keberadaan pendidikan kita tidak banyak membantu dan menolong untuk bisa memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik. Apa yang diperoleh dari dunia pendidikan tidak mendukung perubahan sikap, malah kadang memperkeruh keadaan yang ada.
Pembiasaan itu terus menerus...
Pendidikan yang mendasar itu salah satunya adalah konsistensi dan kontinuitas. Pendidikan yang dilakukan terus menerus. Adanya celah untuk mundur atau melenceng, membuat pendidikan bisa kehilangan daya didik, daya ajar, dan hasil akhir sebagaimana yang diinginkan. Kedisiplinan  perlu dimulai dari sistem dulu yang jelas, kemudian guru dan tenaga kependidikan yang secara langsung berdinamika bersama peserta didik.Â
Bahwa dinas dan seluruh perangkatnya itu penting iya, namun mereka hanya urusan administrasi dan bukan teknis, yang selama ini justru lebih memiliki peran, karena unsur luar pendidikan masuk di sana, soal politik misalnya. Semua tentu paham kalau jabatan bahkan hingga kepela sekolah itu jabatan molitis karena otonomi daerah yang amburadul itu.
Permisif menghianati itu semua...
Sikap permisif dan menoleransi perbuatan yang melenceng sedikit saja, merusak semua bangunan yang sudah dicoba dan dilakukan. Penghianatan bagi semua proses pendidikan yang seharusnya terus menerus itu. Hal ini bukan masalah yang sepele, karena masa depan bangsa dan negara ada di tangan generasi muda yang berproses dalam pendidikan. Keberadaan pendidikan yang mudah memaafkan  dalam hal-hal yang kecil namun prinsip, siap-siap saja nanti dipanen suatu hari nanti. Jangan kaget mengapa ada generasi seperti ini pada suatu waktu.
Seragam...
Paling mudah dijumpai adalah masalah toleransi yang ada dalam baju seragam. Tentu bahwa seragam sendiri masih merupakan polemik, namun masih cukup efektif bagi bangsa yang masih perlu atribut seperti ini. Seragam, salah satunya adalah kerapian, maju  masuk pada celana atau rok. Namun demi memudahkan guru mendisiplinkan siswa lebih mudah memfasilitasi dengan model baju luar. Ini keren, gaya, dan modis, namun secara mendasar motivasinya, hanya karena trend di sinetron baju di luar, anak-anak susah dipaksa untuk memasukan baju. Gampang dibuatlah baju di luar. Alasan modis, lha mau sekolah atau bergaya. Jika memang berani mengapa tidak sekalian tidak berseragam. Implikasi banyak banget, dengan kondisi bangsa dan negara ini. jangan latah meniru bangsa A atau B, beda kasus.
Nilai, standart kelulusan...
Soal standar kelulusan. Dulu terutama, UN itu tiap tahun kalau tidak salah naik nol koma lima, atau setengah. Contoh tahun ini lima (5) Â berarti tahun depan akan menjadi lima koma nol (5.5) atau lima setengah. Selalu naik, cuma soal lebih mudah. Naik dalam nilai namun sebaliknya kualitasnya sama saja karena standar soalnya diturunkan.Â
Di atas kertas sih kelihatan lebih baik jika dibandingkan tahun sebelumnya, namun kualitas sama saja, bahkan bisa turun. Memang keren nampaknya, lihat politis lagi bukan, kalau tampilan itu, secara mendasar tidak ada perubahan. Mana yakin ada perubahan ketika sistem pengajarannya tidak berubah, pengajarnya juga begitu-begitu saja, ajabibnya kelulusan tetap 100%.Â
Hebat bukan. Ini sangat mendasar, soal penilaian atas proses lho, bisa dimain-mainkan. Belum lagi soal pengawasan dan proses ujian yang sangat kacau itu.
Pekerjaan rumah....alasan menjalin relasi orang tua...kasih sayang...beda tipis dengan memanjakan...
Pekerjaan rumah, salah satu sarana mendidik anak untuk belajar di rumah, selain itu juga mengajarkan nilai tanggung jawab. Namun masyarakat modern ini makin keterlaluan sehingga pekerjaan rumah dibuatkan dengan alih menjalin relasi, waktu sempit, baiklah bisa dimengerti, namun sering dialihkan ke guru les.Â
Membayar orang, sedang anaknya main gadgetnya, neggame, dan abai akan tanggung jawabnya. Pengalaman, anak di sekolah, lupa membawa bukunya karena di tas memang tidak ada, kog tidak ada tahu, pembantu yang menyusunkan jadwalnya. Ini sih bukan kasih sayang  memanjakan. Jangan heran lahir generasi pencari kambing hitam.
Tabiat bangsa...
Lihat semua begitu, apalagi di jalanan, sangat liar perilaku berlalu lintas. Mirisnya bukan semata orang tidak berpendidikan, dulu level becak, bajaj yang tidak aturan itu, kini mobil mewah pun menjadi penyumbang ketidakaturan itu. Semua itu pendidikan yang memberikan kontribusi sangat besar, ingat pendidikan pertama dan utama itu dari rumah lho, dilanjutkan di lembaga formal.
Pelanggaran dimulai dari permisif...
Pelanggaran itu dimulai dari sikap permisif terlebih dulu. Dalih demi dalih keluar juga karena sikap tanggung jawab yang lemah diterapkan dalam lembaga pendidikan. Keluarga andil dalam sikap ini dengan atas nama kasih sayang.Â
Maklum, masih kecil, kasihan nanti ini dan itu.Â
Hal yang  jamak terdengar. Atau sisi lain yang tidak kalah ngawurnya, membiarkan tanpa adanya aturan yang disepakati di dalam keluarga itu. Orangtua banting tulang dan melakukan banyak hal, anak ongkang-ongkang saja.
Perlu disiplin... Kedisiplinan sesuai dengan taraf usia anak. Lihat saja orang-orang kampung bisa menerapkan pendidikan anak, mengapa ornag modern yang dilengkapi dengan teknologi dan pengetahuan malah tidak mampu? Sikap yang lemah dulu untuk  mendidik seperti apa yang dimaui.
Tidak perlu kaget jika menghadapi bangsa yang seperti ini. Sikap mental, mau menang sendiri sudah diciptakan dari rumah, dipermanenkan dalam dunia pendidikan, jelas saja hasilnya sukses besar. Sikap toleran tidak ada, karena hanya hapalan dan wawasan tidak ada sikap dan keteladanan untuk itu.
Kehendak baik, susah mengharapkan sikap baik bisa lahir dari pendidikan dan contoh kebencian yang ada. Membesar-besarkan perbedaan bahkan dalam hal yang sangat kecil. Hal ini terus masuk dalam benak generasi muda, apalagi hari-hari terakhir ini, santer hal itu didengung-dengungkan beberapa pihak.
Taat konsensus dan azas. Mana ada ketaatan di atas sikap permisif. Tidak heran orang berdiri di atas dua kaki yang berbeda tempat, satu ada di sungai satu ada di darat. Apa yang akan terjadi, terjengkang atau tumbang.
Apakah hal ini yang akan dibanggakan sebagai bangsa yang besar itu? Tentu tidak, kehendak dan harapan perlu dipupuk.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H