Anehnya tidak pernah ada bangkai monyet atau kera satupun. Padahal paling tidak ada dua keluarga besar satu ekor panjang dan satu ekor pendek yang tidak pernah akur, tapi tidak pernah juga mereka bertikai secara brutal. Pun tupai dan bajing tidak pernah ada bangkainya. Ini membuat makin mistis si beringin.
Calo macam calo juga biasanya bisa ditemui pas siang hari sedang duduk-duduk sambil ngopi dan ngobrol ngalor kidul mengenai jelas apa yang menaungi merek. Dari sanalah mereka mendapatkan catutan banyak hal, biasanya tidak jauh dari ladang dan kebun. Paling banter juga menjualkan tanah bagi orang sana. Itu pun tidak jauh. Namun nama mereka yang sering lebih tenar dari pada penduduk kampung yang kesohor sekalipun seperti Juragan Karyo itu.Â
Mereka kini sedang kasak-kusuk mau mengusulkan bahwa belik itu dibangun lebih tertutup sehingga para gadis aman dan nyaman mandi. Padahal selama ini juga tidak ada masalah. mereka jugalah yang usul untuk membuat gapura di jalan masuk kampung, mau memagari sekeliling pohon, dan bahkan ada yang mau membuat saung dan dangau biar bisa disewakan kalau ada "peziarah" yang mau beristirahat. Perilaku ugal-ugalan mereka ini meresahkan warga kampung yang telah sekian lama hidup dengan harmoni bersama di ringin dengan segala eksotikanya.
Paham mereka yang sederhana ini membawa simpulan, kalau kuningnya banyak daun, dahan yang mulai banyak kering, dan botak di sana-sini, paling parah jelas bolong di batang utama, karena perilaku para pencatut yang dompleng ngisis namun merasa memiliki itu. Â Munyuk pun mulai jarang nungul. Sidat di belik makin sedikit padahal mana ada anak yang berani mengambil apalagi memasakanya.Â
Usai si Polem panas dingin bertahun lalu memanggang sidat usai ia kedinginan kelamaan main di kedung. Ia kelamaan menunggu para perawan mandi, ternyata hari itu mereka tahu polah si Polem maka tidak mandi. Dari sana panas dingin dan sidat keramat itu aman terjamin, hingga kini pecatut datang dan tiba-tiba hilang.
Rapat sesepuh dan pak demang susah tercapai kata sepakat, karena banyak yang sudah mendapatkan rokok atau roti dari para pencatut itu. Mereka mempertahankan ide dan gagasan siapa yang memberikan apa kepada mereka. Akhirnya diputuskan sepekan lagi akan diadakan pembicaraan dan mengambil tempat di bawah beringin, dan warga asing tidak boleh terlibat sama sekali, apalagi ikut di sana.
Sehari sebelum rapat, angin dan hujan deras luar biasa. Derak dahan patah diikuti suara gemuruh ternyata beringin tua itu tercerabut dengan akar-akarnya. Hampir seluruh penduduk menyaksikan sambil menggigil, karena rumah mereka bermuka ke beringin keramat itu. Melingkar dengan apik dan rapi, kini semua tinggal kenangan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H