Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Takut Awal Kekerasan

20 Desember 2017   07:09 Diperbarui: 20 Desember 2017   08:25 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak mampu namun memaksakan diri dan tidak mengukur kemampuan. Obsesi yang berlebihan bisa merusak diri dan berujung kepada bunuh diri. Pun jelas akan mengorbankan orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Orang lain juga bisa menjadi korban untuk ditindas dan dijatuhkan.

Mengapa kekerasan dan ketakutan begitu besar dalam kehidupan kita?

Penghargaan akan materi, kedudukan, dan kehormatan secara berlebihan. Kecenderungan melihat ke atas, tidak ke bawah yang bernuansa spiritual sangat lemah. Lihat bagaimana orang begitu memuja orang kaya, pejabat, dan orang penting. Padahal perilaku mereka sangat buruk, rendah, dan tidak bermoral. Itu penghormatan pada koruptor melalui pembelaan, membeli ijazah dan gelar, atau penyuap dan pembeli suara dalam pilihan apapun dielu-elukan dan dihormati.

Pendidikan ternyata tidak sampai pada penilaian moral antara yang baik dan buruk. Apa yang dipilih berorintasi akan materi dan uang semata. Harkat kemanusiaan menjadi turun karena orientasinya adalah uang dan materi. 

Pendidikan yang baik seharusnya membawa peserta didik mampu membedakan mana yang baik dan buruk sehingga tidak karena uang bisa menjadi kaya dan menjadikan yang buruk menjadi baik. Lihat saja bagaimana selama ini hal itu berseliweran ada di sekitar kita.

Pendidikan dan pengetahuan agama kacau balau, antara yang hakiki dan sebentuk hal yang minimalis saja belum bisa dibedakan. Asal sudah berpakaian rapi, agamis, santun, dan sejenisnya dianggap sebagai pribadi agamis, religius, dan saleh, padahal rekam jejak pada saat yang sama apalagi yang lain, jauh dari itu semua. 

Agama seharusnya memberikan pedoman, jalan untuk membedakan mana yang baik dan buruk bukan hanya sekedar rapalan, hapalan, dan ujaran suci namun kosong isi itu. Ritual baik namun tidak cukup ketika tidak diikuti buah dan perilaku yang sejalan.

Miris dan ironis adalah kala orang menjadi kacau antara berani dan malu. Bagaimana orang berani terang-terangan maling, tanpa malu lagi. Melanggar sebagai sebentuk kebanggaan. Padahal harusnya bangga itu karena prestasi, raihan positif, dan capaian usaha dan kerja keras.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun