Takut Awal Kekerasan
Takut awal kekerasan. Di sekitar kita suka atau tidak penuh dengan kekerasan. Beragama kekerasan dengan mudah tersaji dan terjadi. Dari minimalis marah, perkosaan, pembunuhan, perampokan, atau yang berkerah putih namun juga kekerasan korupsi, hingga bully yang biasanya pada anak-anak dan remaja. Kini pun persekusi mewabah karena adanya kebersamaan yang tidak semestinya. Lagi-lagi kekerasan.
Beberapa kekerasan yang berasal dari ketakutan, dan patut dilihat adalah, hal-hal berikut:
Orang takut miskin, menderita, dan kelaparan. Apa yang dilakukan adalah dengan mengusahakan apapun demi bisa kaya, kenyang, dan tidak menderita secara fisik atau badani. Sarana untuk mencapai itu yang berupa kekerasan antara lain, merampok, mencuri dengan kekerasan, memalak, mengintimidasi demi mendapatkan materi dan kekayaan yang bisa menutup rasa takutnya. Ini level biasa, sangat naturalis dalam masyarakat kalangan menengah bawah.Â
Beda kasus ketika hal itu dilakukan orang yang hasrat tamak dan rakusnya lebih besar, padahal sudah mapan dan memiliki jabatan. Dengan jabatannya, menekan bawahan, relasi yang membutuhkannya, dan apapun peluangnya diupayakan untuk menghasilkan uang dan materi. Tidak aneh korupsi, suap, kolutif dan sejenisnya merajalela. Sepele, hanya orang takut untuk menderita dan miskin.
Orang takut tidak dihormati, takut tidak dianggap, dan takut tidak mendapatkan tempat terhormat.Sangat jamak terjadi, apalagi era media sosial yang sangat memuja hal-hal yang baru, terbaru, dan menjadi viral.Tidak aneh, ketika perilaku kekerasan, persekusi, atau bully-an menjadi gaya hidup sebagian orang untuk bisa eksis dan bahwa itu kekerasan bukan menjadi pertimbangan.Â
Ketakutan tidak eksis lebih besar dari pada ketakutan untuk menciderai atau melukai, baik fisik atau badan pihak lain. Hal ini  bukan hanya oleh abg,anak baru gede atau pribadi yang sedang mencari jati diri, malah orang yang kadang sudah sangat sepuh sekalipun. Demi mendapat tempat terhormat, orang bisa menindas orang lain, baik dengan perkataan ataupun jelas dengan perbuatan.
Orang takut keadaannya, merasa tidak aman, merasa orang lain selalu akan menyerang, mengadakan konspirasi untuk diri dan kelompoknya.Kepercayaan menyerang adalah pertahanan terbaik sering dilakukan oleh pribadi dan kelompok ini. ciri yang biasanya nampak adalah mereka mengandalkan komunalis, apa yang dilakukan mengatasnamakan kelompok untuk menekan kalau bisa meniadakan kelompok lain.Â
Eksistensi dan keberaniannya adalah kelompoknya, kebersamaan dengan yang lainnya, kalau sendiri tidak akan berani. Ciri lainnya, adalah mereka akan menuduh, menghakimi pihak lain, identik dengan apa yang mereka yakini dan lakukan. Perasaan takutnya ini dipakai untuk menyerang orang yang tidak seide, sejalan, dan sepikiran dengan mereka.Â
Ironisnya, biasanya, mereka ini menggunakan agama sebagai tameng. Kelompok atau ormas pun akan mengaitkan dengan agama tertentu, ingat apapun agamanya sama saja. Tidak perlu menuduh artekel ini sebagai penistaan atau pendiskreditan agama tertentu. Jika malu menuduh, buat saja artikel sanggahan atas ulasan ini.
Orang yang takut hidup dan menghadapi kenyataan.Kekerasan belum tentu terhadap pihak lain. bisa saja kepada diri sendiri. Bunuh diri, obsesi berlebihan yang tidak terkontrol jelas akan melukai dan kekerasan pada diri sendiri.Â
Tidak mampu namun memaksakan diri dan tidak mengukur kemampuan. Obsesi yang berlebihan bisa merusak diri dan berujung kepada bunuh diri. Pun jelas akan mengorbankan orang lain sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Orang lain juga bisa menjadi korban untuk ditindas dan dijatuhkan.
Mengapa kekerasan dan ketakutan begitu besar dalam kehidupan kita?
Penghargaan akan materi, kedudukan, dan kehormatan secara berlebihan. Kecenderungan melihat ke atas, tidak ke bawah yang bernuansa spiritual sangat lemah. Lihat bagaimana orang begitu memuja orang kaya, pejabat, dan orang penting. Padahal perilaku mereka sangat buruk, rendah, dan tidak bermoral. Itu penghormatan pada koruptor melalui pembelaan, membeli ijazah dan gelar, atau penyuap dan pembeli suara dalam pilihan apapun dielu-elukan dan dihormati.
Pendidikan ternyata tidak sampai pada penilaian moral antara yang baik dan buruk. Apa yang dipilih berorintasi akan materi dan uang semata. Harkat kemanusiaan menjadi turun karena orientasinya adalah uang dan materi.Â
Pendidikan yang baik seharusnya membawa peserta didik mampu membedakan mana yang baik dan buruk sehingga tidak karena uang bisa menjadi kaya dan menjadikan yang buruk menjadi baik. Lihat saja bagaimana selama ini hal itu berseliweran ada di sekitar kita.
Pendidikan dan pengetahuan agama kacau balau, antara yang hakiki dan sebentuk hal yang minimalis saja belum bisa dibedakan. Asal sudah berpakaian rapi, agamis, santun, dan sejenisnya dianggap sebagai pribadi agamis, religius, dan saleh, padahal rekam jejak pada saat yang sama apalagi yang lain, jauh dari itu semua.Â
Agama seharusnya memberikan pedoman, jalan untuk membedakan mana yang baik dan buruk bukan hanya sekedar rapalan, hapalan, dan ujaran suci namun kosong isi itu. Ritual baik namun tidak cukup ketika tidak diikuti buah dan perilaku yang sejalan.
Miris dan ironis adalah kala orang menjadi kacau antara berani dan malu. Bagaimana orang berani terang-terangan maling, tanpa malu lagi. Melanggar sebagai sebentuk kebanggaan. Padahal harusnya bangga itu karena prestasi, raihan positif, dan capaian usaha dan kerja keras.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H