Lagi dan lagi, malah berita duka dari dunia sepak bola Indonesia. Kisah berkelanjutan soal kematian pendukung tim yang bertanding. Turut berduka bagi keluarga. Prestasi belum beranjak, masih sebatas harapan, maka tidak heran saat ada yang komentar, takut harapan itu berhenti hanya pada harapan, bukan hasil sebagaimana yang diidam-idamkan sekian lama. Usai dibekukan FIFA, jelas belum menunjukkan prestasi dalam rupa medali emas Sea Games, yang lain masih sama saja.
Eh malah kematian demi kematian suporter. Ini nyawa manusia lho, jangan dianggap enteng, atau berdalih risiko atas tontonan. Tidak demikian. manusia jauh lebih berharga atas tontonan dan fanatisme apapun itu. Nyawa manusia dipertaruhkan untuk menonton pertandingan, yang sejatinya dan seharusnya adalah membahagiakan dan menyenangkan. Bagaimana bisa terhibur jika was-was dan merasa terancam.
Hukuman tidak semata mengganti pengurus, seharusnya perilaku seluruh yang berkepentingan dalam sepak bola
Mungkin ini berlebihan, namun buat apa perubahan nama pengurus namun sikap mentalnya masih sama saja. Pertandingan kasar dan cenderung bar-bar masih tersaji, bukti konkret dalam pertandingan regional kartu merah langsung diterima berkali-kali. Termasuk emosi yang tidak terkontrol. Ancaman mogok, dan kacaunya Liga II karena adanya kerusuhan dan kekerasan. Masih jauh dari harapan. Hukuman yang tidak memberikan efek perubahan yang signifikan.
Malah seperti jauh lebih tragis. Pembinaan belum nampak hasilnya. Permainan bagus belum hasil dari pembinaan berjenjang, kebetulan ada bibit-bibit menjanjikan, dan dikumpulkan kemudian dilatih dengan memang baik, harus obyektif harus diakui tim pelatih semua level baik.
Perilaku sikap tidak siap kalah
Pemain dan apalagi penonton, belum siap kalah. Timnya yang diperkuat atau didukung kalah, ya siap rusuh. Hal ini jelas karena karakter bangsa. Bagaimana di politik sebagai sebuah bangsa saja demikian. Sikap sportif dalam sepak bola ternyata belum sepenuhnya bisa dihayati dan dimaknai serta kemudian menjadi gaya hidup. Belum bisa menyentuh level perilaku. Sportif belum ada, hanya permainan, profesi, atau tontonan. Â Padahal bagian utuh olah raga itu ya menang kalah. Gak berani kalah, pilih saja catur. Identik dengan perilaku beragama. Hapal, kata suci sudah seperti otomatis di mulut, namun korupsi, mencaci, menghina, bahkan memfitnah menjadi menu harian. Bagaimana agama pun belum mengubah perilaku.
Fanatik sempit dan tidak sehat
Satu sisi, penonton bahkan bisa menjadi pemain ke-12, namun itu sepanjang bertanggung jawab. Nyatanya selama ini malah menjadi biang rusuh dan biang onar. Mendukung atau merongrong jika demikian adanya? Fanatisme jangan ditanya lagi, lihat bagaimana Bonek, Bobotoh, atau Jakmania. Semua fanatik, namun ya kembali lagi, sektarian, tidak sehat, dan lebih emosional dan tidak rasional. Jurus andalan pokoke... tidak boleh kalah oleh lawan tertentu, kalah berarti rusuh. Untuk apa coba jika industri bola mau dibangun dengan  salah satu pilarnya keropos dan "penyakitan" begitu.
Kalau banyak orang yang percaya kondisi bangsa lihat dari jalan raya, perilaku di jalan raya, kini dunia olah raga pun demikian. Bagaimana kondisi tidak sehat dunia olah raga juga mencerminkan kondisi bangsa dan negara. Sebagai bagian hidup bersama, sikap sportif dan berani menghormati pemenang sebagai hal yang sangat mendasar. Bagaimana bisa maunya menang sendiri, ini ciri anak kecil yang belum bisa berkompetisi.
Masalah komplek yang tidak serta merta bisa diubah seperti membalik telapak tangan. Kehendak baik semua pihak untuk mau mendengarkan dan mau berbicara. Bukan semua berbicara apalagi hanya menuding. Kritik selama memberikan alternatif dan solutif perlu didengungkan, tanpa perlu menunggu terlalu lama. Bukan waktunya hanya menuding dan mencari kambing hitam