Sikap mental memegang peran penting. Mirip dengan rokok yang dinista namun dicintanya. Pelacur yang dihujat toh dipeluknya, atau soal raskin atau rastra apapun namanya ujungnya sama saja. BBM pun tidak jauh beda, motor sport puluhan juta, eh tidak malu ngantre di pompa BBM bersubsidi. Ini soal sikap mental. Tidak usah jauh-jauh mau berbagi dengan konsep pajak tinggi, dengan sedikit saja mau membeli sesuai kemampuan selesai. Keadilan sosial itu dari sikap batin. Apalagi jika  bicara pajak dan sebagainya. Susah lagi. Tidak ada yang salah kog dengan subsidi, (padahal sosialis dan komunis dicaci maki....) namun karena sikap tamak dan rakus banyak pihak, negara terbebani. Semua presiden alami lho, gak usah sensi.
Sikap mental hanya bisa diselesaikan dengan pendidikan, baik formal, informal, atauun nonformal. Sinergi peran dari bangsa secara keseluruhan menjadi penting. Mengeluhkan tidak akan selesai, namun memberikan sebentuk pencerahan menjadi penting. Dimulai dari diri sendiri, orang terdekat, dan kemudian ke masyarakat yang sepanjang mampu. Apakah mudah, jelas tidak.
Tokoh masyarakat apapun levelnya sangat berperan mengubah peta sosiologis bangsa ini menjadi bangsa bermartabat, bukan bangsa jongos yang mudah merengek, mengeluh, bukan kelapakan namun karena tamak. Padahal kenyang namun merasa mau ngemil terus.
Kehendak baik, pemikiran baik, dan pilihan baik perlu diawali dari hati, bukan konsep apalagi hanya karena ketidaksukaan. Konsep yang tidak dimaknai kurang bernilai karena tidak menyeluruh. Pemaknaan memberikan kekuatan karena sudah memberikan penilaian moral yang lebih dalam dari sekadar pengetahuan semata.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H