Menarik berbicara dua pribadi pakar di bidang politik ini. Satu akademisi, satunya praktisi yang mumpuni. Profesor Amien Rais siapa yang tidak kenal dengan reputasinya, baik sebagai dosen, politikus, ataupun agamawan. Semuanya gilang gemilang, satu saja belum jadi apa yang diingini, yaitu presiden. Ilmu politiknya kurang apa coba, lulusan Amerika Serikat, dosen di kampus tertua dan terbesar di Indonesia, ketua umum, pendiri partai di Indonesia. Pernah jadi ketua MPR, malang melintang dalam hampir semua pemerintahan.
Setya Novanto, praktisi politik yang benar-benar brilian, maaf memakai kata "profesor" bagi kalangan profesor asli, ini hanya hendak menunjukkan level paling top bagi Setya Novanto dengan capaiannya. Berkali-kali kasus hukum membuatnya hanya goyang seperti pertanyaannya kepada dokternya kemarin. Papa minta saham  hanya membuatnya turun sejenak. Politikus pemula perlu banyak belajar dari si politikus ulung satu ini.
Tidak Pernah Terdengar Santer jadi Menteri, apalagi Presiden atau Kepala Daerah
Setnov sama sekali tidak pernah terdengar mau jadi ini itu. Termasuk ketua umum Golkar, namun bisa dengan tiba-tiba merangsek naik dan jadi. Agung Laksono yang bertarung dari pengadilan ke pengadilan langsung habis. Setya Novanto mengambil panggung dan bisa sejajar dengan elit lain. Tidak pernah terdengar hiruk pikuk masuk radar menteri bagi pemerintahan siapapun.Â
Zaman Pak Beye di mana Golkar banyak berkiprah tidak terdengar sama sekali. Pun kini di masa Pak Jokowi. Mencalonkan diri jadi ketum sebagai kursi menuju RI-1 atau 2 juga tidak pernah terdengar. Jelas pembeda dengan kebanyakan politikus di negeri ini yang langkahnya terang benderang terbaca oleh publik bahkan level rakyat biasa sekalipun. Tentu Prof Amien, Pak Yusril, atau Pak Ical semua paham partainya untuk menjadi tunggangan menuju pimpinan bangsa ini, bahkan turun level ke gubernur pun biasa saja.
Dapil Sepi Pengamatan
Siapa saetnov ambil dapil di NTT, beda dengan politikus besar lain, Ibas di Madiun Raya, Puan di Solo Raya, basis besar, dan potensial untuk mengusungnya naik ke puncak di dewan. beda dengan pilihan Setya Novanto, jaminan itu dari daerah yang justru sepi dari hingar bingar politik. Angka pemilih pun relatif kecil. Â Pewarta ataupun warganet akan jarang meneropong apa ia pernah ke sana, apa pernah ia tahu jumlah penduduk atau keprihatinan di sana, politikus ulung yang efektif dan efisien.
Memainkan Isu Politik dengan Cerdik
Pengusaha sekaligus politikus yang cerdik memainkan kaki. Ia tidak pernah terlibat dengan faksi apalagi friksi dengan siapapun. Golkar Ical yang sangat malu karena ada di KMP di tangan dia tanpa sungkan langsung mengusung Jokowi untuk 2019. Bagaimana pun ia tidak pernah ada masalah dengan kubu sebelah, pembelaan paling kuat saat ada badai KTP-el malah dari Fadli Zon. Pembelaan bak babi buta dalam perpolitikan di sini, oleh Setnov ditepikan. Ia aman dalam segala kondisi
Sikap Diam, Tenang, dan Sabar
Ia tidak perlu konpres atau teriak diperlakukan tidak adil dan sebagainya. Di Amrik yang jadi heboh pun dia hanya senyam senyum dan lolos. Lihat bagaimana ia dijadikan tersangka, sekian lama baru mengajukan praperadilan. Ia tahu ingatan bangsa ini pendek, ia tidak perlu teriak seperti Pak Prabowo tetapi menggunakan apa yang dikatakan Pak Prabowo itu dan sukses.Â
Tidak banyak yang mampu begitu. Lihat Ahok terpental, Amien Rais jadi bahan olok-olokan soal buntalan 600 juta, dia diolok-oolok seperti apapun diam saja, senyam senyum terus dan kursi tetap di tangan. Mulut bisa lewat orang lain, tindakan apalagi, kenapa harus melakukan pertahanan diri yang tidak perlu. Coba sehat walafiat tiba-tiba sakit sangat parah dan kemudian ada rumor sudah balik ke rumah hanya selang sehari usai menang di praperadilan. Toh tidak ada yang mempersoalkan.
Kelemahan yang Dijadikan Kekuatan
Ia bukan pemimpin karismatis yang tiap omongannya didengar orang, dicemooh iya, beda dengan Pak Karno, Pak Amien, atau Pak Yusril, ia memilih dengan caranya dan memainkan trikk politik blusukan Pak Jokowi. Blusukan bukan ke pasar atau ke mall, namun ke lembaga-lembaga negara lain. Mana pernah ia ribut dengan lembaga lain. Ia tahu tidak populer, namun toh bukan itu satu-satunya cara untuk memenuhi hasratnya.Â
Energi yang ia keluarkan relatif kecil dan sangat tepat guna. Apa yang diingini tercapai dan sudah, tidak perlu ada yang membuatnya sakit hati. Ia pun tahu tidak perlu minta bantuan demo berseri atau massa untuk menduduki ini itu, namun siapa yang ia butuhkan itu pas dan tidak menimbulkan kehebohan dan semua usai. Coba berapa uang untuk menggerakan massa berulang itu? Bandingkan dengan kemungkinan cara lain yang lebih senyap.
Jika, jika saja kecerdikan, kecerdasan, dan keefektifan itu untuk kebersamaan sebagai bangsa dan negara bukan pribadi atau kelompoknya, bangsa ini pasti sudah jauh lebih maju. Dewan di bawah kendalinya juga tidak ada apa-apanya, padahal ia pribadi yang begitu efektif.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H