Mengukur Kemungkinan PDI-P Berjaya di 2019
Berbicara liga Indonesia itu satu hebatnya, jauranya jarang bisa jawara berturut, bahkan susah ditebak siapa yang akhirnya akan juara. Bahkan juara bisa saja periode berikut degradasi. Partai politik ternyata mirip, ini bicara kini bukan era lalu di mana pemenangnya pasti, bahkan persentasenya.  Sepanjang era reformasi, memang PDI-P menang dua kali, namun bukan berturut. Demokrat sekali  pun begitu Golkar.
PDI-P Â 2004
Massa masih merasa bahwa masa pemerintahan transisi pertama itu tidak sebagaimana yang diinginkan. Susah juga bagaimana KKN yang menggurita selama puluhan tahun bisa diselesaikan dengan tarik ulur dan kesenangan bak kuda lepas dari kandang bisa berbuat banyak. Tidak heran kondisi tidak banyak perubahan. Malah Golkar bisa kembali menari di atas panggung dan merebut kembali dari tangan Banteng yang terseok-seok kala memimpin. Iya ya lah sekian lama hanya memandang kekuasaan, mana bisa melakoninya dengan gangguan para pelaku yang  sudah biasa main di kursi puncak. Mereka kembali kalah dan presiden pun dipegang oleh bukan siapa-siapa, partai  baru yang sedang mencoba peruntungan.
PDI-P 2009
Kembali, sebagai  oposan yang konsisten ternyata masih belum bisa bicara banyak.  Belum lagi soal banyak pula kadernya yang ketangkap  KPK, mau tidak mau mereka belum bisa bicara banyak. Apalagi sang pemain baru cukup piawai memainkan peran dalam panggung bersama Golkar, dan kawan-kawannya.  Memang susah bisa berbuat banyak di mana oposan dinilai buruk dan tidak bermatabat di alam demokrasi yang masih latihan. Mengandalkan suara nyaring di parlemen seolah tidak ada gunanya.
PDI-P 2014
Jauh hari sudah nyaring soal PDI-P no, Jokowi yes, namun tidak mudah juga jika PDI-P tidak menang jika mau mengusung Jokowi, akhirnya pemilih realistis, suka atau tidak suka, mencoblos PDI-P. Kemenangan PDI-P jelas jauh lebih banyak soal keinginan Jokowi menjadi presiden. Â Artinya mereka meskipun menilai Jokowi kader atau petugas partai toh tetap harus "tahu diri" realitas ini. meskipun menang bukan karena kinerja mereka sendiri.
PDI-P 2019
Susah berharap mereka mendulang banyak suara seperti 2014. Mereka memiliki "kanker" yang harus dikemoterapi dulu jika mau tetap berbuat banyak.
Apa saja pembuat mereka kembali gembos?
Soal rekam jejak PDI-P yang seolah menang sendiri. Ini susah dihapus soal isu petugas partai, meskipun sudah tidak lagi demikian, Ibu Megawati juga sangat dekat dan mendukung presiden dengan baik, namun sikap awal itu tetap terasa dan tidak dilupakan para pemilih.
Kader PDI-P yang malah berperilaku lebih oposan dan garang sebagaimana Masinton. Jelas ini sangat merugikan PDI-P, harus ada sikap tegas dari partai mau apa dengan perilaku seperti ini. jauh lebih efektif menggembosi daripada memberikan nilai plus bagi pemerintah. Ingat mereka bukan oposan lagi, atau lupa?
Kader di pemerintahan banyak yang minus. Paling bisa bicara banyak dan relatif jelas ada di Tjahjo, lainnya nihil. Jika demikian terus, jangan harap PDI-P mendulang suara, di parlemen sumbang di eksekutif memble, ya mau apa lagi?
Pilihan-pilihan di isu strategis sering salah dan pembiaran. Entah apa artinya pansus KPK bagi PDI-P mengapa partai diam saja melihat dewan mengganggu pemerintah seperti ini, jangan lupa lho, pemerintah itu usungan mereka. Eh malah kalah garang dengan Golkar di dalam membela (meskipun alasan kasus juga).
Kader di daerah banyak yang tertangkap KPK, susah juga mau bicara lumbung wong cilik, nyatanya  wong gedhenya pesta pora uang rakyat. Ini banyak terjadi.
Pilkada DKI yang jelas telat bersikap membawa petaka yang besar. Tolok ukur jelas, nyata di depan mata bisa dikalahkan dengan telak oleh perilaku kubu rival, ini bukan untuk disesali untuk dibenahi, jangan diam saja.
Dua tahun masih ada waktu perbaikan.
Fokus memenangkan lumbung suara, minimal Jawa Tengah membawa kontribusi besar bagi suara Indonesia. Jika lepas, habis sudah, sedang pimpinan tingkat dua sudah kalah di beberapa tempat. Lagi-lagi pembenahan. Jangan jumawa.
Menjawab isu strategis dengan cerdik dan cerdas, memiliki kader selevel Pak Jokowi, malah sering salah langkah. Buat apa coba memiliki kader cerdas kalau tidak memberikan kontribusi parta karena partai politiknya yang tidak memanfaatkan. Tentu presiden tidak masuk dalam jajaran partai namun bisa memberi masukan positif bagi partai.
Mengurangi suara oposan yang kurang bermanfaat. Selama ini jauh lebih tidak berguna daripada bermanfaat bagi partai politik. Sikap terhadap sampah masyarakat korupsi pun seolah PDI-P tidak bersikap. Memecat kader saja tidak cukup memberikan daya serang terhadap sikap maling ini, bagaimana seharusnya mereka bisa melakukan sinergi bersama legeslatif dan eksekutif dengan lebih baik.
Kritik bukan sebatas asal bicara perlu dipelajari anggota dewan dan PDI-P sehingga memberikan martabat dan kebanggaan bagi dewan bukan malah sebaliknya. Â Hal ini masih ada waktu kalau mau.
Susah berharap banyak pada kader elit PDI-P jika tidak ada perubahan signifikan dalam dua tahun ini. Kalau melorot atau gembos, ya sama saja dengan model partai lama.
Salam Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI