Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Peran Media dan Kecerdasan Bermedia, Contoh Pemberitaan Pembunuhan Pegawai BNN

9 September 2017   07:01 Diperbarui: 10 September 2017   03:05 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Peran Media dan Kecerdasan Bermedia, Contoh Berita Pembunuhan Pegawai BNN

Beberapa hari ini marak pemberitaan mengenai masalah Myanmar, namun ada selipan yang tidak kalah menarik ada mengenai pembunuhan seorang istri oleh suaminya. Peran media sangat krusial dengan melihat pemberitaan dengan sudut yang berbeda dengan tambahan lembaga di mana korban bekerja.

Kisah ini sebenarnya normal sebagaimana pembunuhan juragan di Sulbar oleh anak dan istrinya, sama kekerasan dalam rumah tangga, jauh lebih heboh karena pelakunya istri dan anak kandung. Lebih sadis dengan racun dan balok kayu. Bayangkan betapa kesakitan beda dengan peluru itu. Jauh lebih heboh karena ada label pegawai BNN yang disematkan. Tentu ini trik media juga kaitan dengan ekonomi. Tidak bisa juga disalahkan

Peran Media dan Kecerdasan Pembaca

Tanpa sengaja saya membaca kog aneh, ketika tiga hari lalu, berita berpusat pada si korban yang telah bersuami ke lima kalinya, kesaksian saudara pelaku. Apa yang menjadi tema komentar adalah kisah hujatan kepada korban, ada-ada saja "kekejaman"  bahasa adat timur itu seolah begitu saja, gaya hidup sehari-hari, nyolot tanpa rem. Karena memang ada pengulangan berita soal korban sudah menikah kelima, sering memukul suami, entah ini logika bagaimana, mana bisa ibu kecil begitu  suami besar dipukuli dan sampai visum segala. (beda kasus jika kekerasan demi kepuasan seksual lho, gak tahu juga).  

Pembaca terdorong untuk berkomentar soal perilaku korban almarhumah, kasihan juga sebenarnya. Kemarin, sudut dari pewarta bergeser, mengetengahkan "reputasi" si pelaku yang kembali  diulang-ulang dalam judul yang berbeda, dengan media yang sama tentunya. Kini fokus pada sepak terjang suami, mulai dari keterangan berubah-ubah, menggunakan KTP kakaknya untuk membeli tiket, mengaku pernah kerja di Mamarika, dan pusaran soal pelaku. Kembali komentar kini mengujat pelaku, salah satunya, mengapa si korban almarhum mau menikah dengan pelaku, lho, beda dengan hari sebelumnya.

Media Berperan Memutarbalikkan Keadaan dengan Fakta yang Sama dengan Sudut Pandang yang Berbeda

Menarik adalah, bahwa ternyata kemampuan memahami berita secara utuh bisa dimainkan dengan segaja hanya dengan menggunakan sedikit perubahan. Hanya soal latar belakang saja mengubah dukungan pembaca. Menurut hemat saya, betapa mengerikannya ketika hal ini dipakai dalam perpolitikan nasional. Kali ini saya meminjam istilah Pak Prabowo bahwa bangsa ini belum cerdas-cerdas amat, sehingga mudah dipengaruhi. Dengan menggunakan berita yang separo fakta, sebagian opini, sebagian kepalsuan demi menjual derita bisa dengan mudah tersebar dan menjadi konsumsi yang luar biasa heboh.

Bangsa yang Mudah Terharu

Susah juga ini sebuah tabiat, kebiasaan, lebih kuat pada ranah emosional dari pada rasional, sehingga karena merasa terharu, merasakan ikut teraniaya, merasa korban atau pelaku sangat lemah, simpati hadir. Lupa dengan apa yang terjadi sebenarnya. Esensinya  lepas  karena sibuk dengan hal-hal yang di luar konteksnya. Hal ini pun banyak terjadi dalam kasus-kasus lainnya termasuk Rohingya juga.  Si penjual derita dalam hal ini media dan yang berkepentingan masuk dengan sisi ini, laku keras, dan jejak kasusnya hilang.

Media Berintegritas

Tabiat kita masih berkisar pada ranah legalis,sepanjang tidak melanggar hukum masih berani, padahal sering melanggar norma dan kadang etis pun masih bisa melenggang kangkung. Kedua proseduralis,sepanjang masih sesuai dengan prosedur, soal prosedur ini benar atau salah, tidak menjadi pertimbangan. Hal ini sering terdengar juga dalam hal korupsi dan perilaku menyimpang lainnya. Semua itu  masih kurang, jika belum dipenuhi dengan yang namanya etik. Etis, tidak mesti diatur dalam pasal-pasal, atau prosedur, namun berdasar nurani dan kepentingan universal. Sepakat bahwa faktor ekonomi tidak bisa dikesampingkan, sehingga yang penting menarik. Boleh-boleh saja menarik, namun jangan abai akan ranah etis ini.

Pembaca Belajar Rasional, Kurangi Emosional

Penipuan, hoax,dan sejenisnya mudah tumbuh  karena sikap bangsa ini yang jauh dari rasional. Emosional, kata orang, lebih kuat. Bagaimana bisa Taat Pribadi melegenda jika rasional hidup. demikian juga mau berangkat umroh denga beaya murah mana bisa jika berhitung dengan cermat. Tidak salah emosional, namun jangan lupa yang rasional tetap dijaga. Jualan emosional itu pasti ada yang ditutup-tutupi. Media sosial tempat yang sangat cocok untuk hal ini.  Rasional itu perlu data dan fakta yang banyak. Padahal media sosial menyajikan data dan fakta yang singkat. Klop jadinya.

Cek Kembali

Menjadi penting di era media sosial sering sebagai rujukan, perlu mengadakan pengecekan kembali. Cari pembanding di media lain, bisa saja berbeda. Ini menjadi berbahaya ternyata ada kepentingan yang berbeda bisa menyajikan hal yang berlainan.

Melek media dan pewarta atau pegiat media memegang tanggung jawab yang sama. Integritas dan etik tidak boleh diabaikan atas nama kebebasan mengemukakan pendapat. Sebebas-bebasnya pendapat tetap saja ada batasan yang tidak boleh dilampaui.

Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun