Tujuh Puluh Dua Tahun Malah Mundur
Entah apa yang salah, dulu, soal agama, ras, suku, dan perbedaan itu baik-baik saja, entah mengapa kini bisa begitu heboh dan sangat sensitif. Kebebasan yang dibawa era reformasi malah membawa angin radikalis, pemecah belah, dan kebencian lebih mengemuka daripada sebaliknya. Tidak kaget jika banyak yang lebih memilih apatis dan tidak peduli dengan keadaan yang terjadi.
Kisah di atas begitu miris dan mengarah ke sikap pesimis di dalam hidup bersama. Sikap memaksakan kehendak, yang kecil akan selalu tertindas, ternyata tidak sepenuhnya demikian. Harapan baik selalu ada. Kehidupan dan kebersamaan masih ada, perbedaan bukan halangan, namun memupuk kebersamaan.
Kisah positif ini dikisahkan imam yang menceritakan mengenai bagaimana Salib AYD, Asian Youth Day, Salib yang diarak di seluruh Asia untuk acara temu kaum muda Katolik Asia yang berpuncak di Keuskupan Agung Semarang yang dilakukan di Yogyakarta awal Agustus lalu ketika singgah di Paroki Babadan, Yogayakarta diminta singgah di sebuah pesantren. Paroki dan pesantren di lereng selatan Merapi ini mengadakan dialog, diskusi, dan pembicaraan di depan salib AYD yang sudah melanglang Asia.  Toh Pak Kyai di sana, para santri di sana tetap Muslim yang baik, tidak ada yang jadi Katolik. Jelas ini di luar jadwal ada  salib yang harus "mampir" di pesantren.
Harapan dan kegembiraan ini sebenarnya bisa terjadi jika saling terbuka bukan saling curiga yang lebih besar. Mau mempelajari agama lain, sebagai pengetahuan bukan pada ranah yang dogmatis, sehingga paham ekspresi kehidupan beragama lain sebagai hal yang wajar. Paranoid karena pengetahuan akan agama sendiri lemah lebih terasa.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI