Trik Setya Novanto Diikuti Hary Tanoe, Fahri Hamzah, dan Poyuono
Politikus memang ahli sirkus, pemain sirkus terhebat pun perlu belajar dari para politikus Indonesia terutama. Â Bagaimana tidak, bisa berjungkir balik tidak karuan, berkebalikan, menyimpang, ataupun berangkulan bisa dalam waktu sekejab, tidak perlu lama, yang penting selamat.
Tentu banyak yang belum lupa saat beberapa waktu lalu heboh dengan kasus yang tenar dengan papa minta saham. Tidak lama di antara kasus yang mengambang, hanya turun sejenak dari tahta ketua dewan, ia bisa menjadi ketua umum Golkar di antara dua kasus berkepanjangan kepengurusan Golkar. Manuver pertama usai menjadi ketua umum Golkar adalah mendukung pencalonan Jokowi untuk 2019. PDI-P partai pengusung utama pun belum membahas, dia sudah menyatakannya. Banner photo dengan Jokowi yang akan ia usung di 2019 langsung marak di mana-mana. Â Tidak mengagetkan ketika tiba-tiba ia naik kembali ke jabatan ketua dewan.
Tentu langkah yang kelihatan menarik, menjanjikan, dan menggiurkan ini tidak diabaikan oleh para politikus yang masih belajar berpolitik. Jangan lupa sejarah panjang Setya Novanto dalam berkelit minimal dari ketua umum siapapun, dia tetap masuk jajaran petinggi Golkar kalau tidak di pengurus ya di dewan. masih lebih panjang soal kasus dengan KPK, sekalipun belum  pernah mendapatkan hadiah rompi apalagi menginap di sel.
Beberapa waktu terakhir, makin banyak manufer, trik, dan jenis kelakuan yang sama. HT tiba-tiba balik arah yang biasanya medianya mengatakan  hal-hal yang tidak positif mengenai pemerintahan saat ini, malah menyatakan dukungannya. Meskipun masih tarik ulur, tentu berkaitan dengan kasus hukum dan kalkulasi politik, susah masyarakat tidak mengaitkan balik arah yang sangat drastis dan tiba-tiba ini tanpa adanya kaitan dengan hukum dan masalah yang terus mendera ketua, pendiri, dan bintang utama Perindo ini.
Poyuono, wakil ketua Gerindra ini salah ucap, mengatakan PDI-P sebagai sama dengan PKI. Tentu ia tahu bagaimana kejamnya peradilan di sini, paling tidak tentu ia jeih membayangkan apa yang terjadi dengan Ahok, apalagi ia tidak ada yang membela, bahkan partainya pun mengatakan penyesalan dan nada cuci tangan malah lebih kuat. Tiba-tiba muncul pujian untuk presiden, mirip dengan apa yang disampaikan ketua Perindo. Jokowi sebagai sosok yang mumpuni. Bisa tidak melepaskan kaitan yang membelit antara kalimat PKI dan kini mendukung Jokowi, jelas selama ini partainya berseberangan dengan ketat terhadap pemerintah. Â Mencari aman karena partainya pun sama sekali tidak mereaksi dengan baik.
Fahri Hamzah, ini heran juga tumben keluar pujian akan sosok yang selalu ia pandang sebelah mata ini. Soal saber pungli pun  ia katakan presiden recehan. Tiba-tiba mengatakan kandidat terkut, rival perlu bla-bla..bla... Presiden sudah membangun, bagaimana begitu mudahnya membalik pernyataan ala politikus bangsa ini.
Ingat sebuah kisah dalam Kitab Suci, bukan mau jualan kitab, namun toh yang saya tahu saya pakai bukan Kitab lain yang bisa berabe. Kisah mengenai bendahara yang tidak jujur, ia akan dipecat, dia berpikir keras mau mengemis ia malu, mau menccangkul tidak mampu, maka ia membuat surat hutang baru agar para pengambil hutang mau menampungnya jika ia jadi dipecat.
Politikus Abai Etika
Etis, moral, soal baik dan benar, belum menjadi bagian perpolitikan bangsa ini. Apa yang menjadi  jargon selalu saja politik itu cair, kepentingan, dan tidak ada kawan dan lawan abadi. Boleh, namun tentu ada etis yang patut dan tidak tentunya. Jika tidak, apa bedanya dengan membenarkan cara untuk semata tujuan, katanya antifasis, kog menggunakannya?  Miris apalagi bangsa beragama, bahkan agama seolah menjadi panglima dan sangat sensitif jika menyangkut agama, bela agama dans ebagainya, nyatanya perilakunya jauh dari nilai-nilai agama. Memutarbalikan fakta jelas bukan ajaran agama.
Politikus Abai Kerja
Selama ini hanya pencitraan, banyak omong dan wacana, komentar sana-sini, soal prestasi nol. Jika kejebak dalam dilema seperti ini, paling mudah adalah menjadi penjilat di sisi seberang, siapa tahu dapat rejeki nomplok diterima. Kebanyakan politikus banyak omong kososng, komentar yang tidak pas pada kemampuan, dan bukan pada masalah yang esensial, mendasar, dan bagi kehidupan bersama. Dengan demikian, jika salah sedikit saja akan ditinggalkan oleh kawan apalagi lawan.
Partai Politik yang Kejam
Partai politik hanya mau enaknya, kasus anggota atau kader akan ditimpakan sebagai  kasus pribdi, jelas kalau korupsi, dan susah melepaskan tidak adanya uang korupsi masuk kas partai, namun semua dibuang, seperti rombeng. Hal ini, soal korupsi masih bisa diterima akal sehat, lucu jika itu membawa nama partai politik saat berwacana, eh malah partainya cuci tangan.  Jarang sebenarnya kader bicara atau bertindak atas inisiatif pribadi.
Partai Abai Ideologi
Partai yang memiliki ideologi jelas, pendidikan partai tentu akan ditekankan sehingga apa yang dilakukan sudah segaris dengan idelogi partai. Selama ini tidak jelas apa yang dilakukan politikus, semua jalan sendiri-sendiri. Â Artinya masih jauh dari harapan dari demokrasi dan partai politik modern. Pantas kalu partai bukan memberi solusi namun sering menambah masalah atau beban bagi bangsa dan negara ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H