Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jakmania vs Bobotoh, Bonek vs Siapa Saja, Model Memalukan yang Dibanggakan

4 Agustus 2017   12:35 Diperbarui: 9 Agustus 2017   08:09 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jakmania vs Bobotoh, Bonek vs Siapa Saja, Model Memalukan yang Dibanggakan

Rebutan pepesan kosong sejatinya pertikaian panjang antarsuporter.  Memalukan lagi jika seperti yang terjadi di Temanggung, bukan suporter bola yang dianiaya, kalau tidak boleh dikatakan dibunuh. Spanyol boleh bangga dengan el-classicoyang sangat panas di lapangan. Atau duel klasik di masing-masing liga top Eropa. Bukan superter yang jauh dari panggang dengan api itu.

Budaya tak beradab kekerasan

El clasico jarang ada perseteruan hingga luar lapangan, kadang saja tensi tinggi dan menjadi kartu merah keluar, itu pun sangat-sangat jarang. Miris apa yang disajikan penonton di sini, bagaimana Bonek, sikap Bobotoh kalau bertemu Jakmania, berlebihan dan justru hasrat kekerasan atas nama fanatisme sempit yang namanya sepak bola. Sejatinya ini bukan soal bola saja, ranah yang  lain pun identik. Bagaimana politik dengan meminjam nama agama pun melakukan represi dan kekerasan di mana-mana. Dalih agama padahal biangnya politik.

Budaya siap menang semata abai konsekuensi kalah

Politik seolah menjadi kiblat di Indonesia, apapun aromanya politik, tidak heran politik yang keras, penuh permusuhan bergeser ke arah bola juga. Era 80-an hingga 90-an Bonek belum melembaga perseteruan PSIS vs Persebaya selalu tensi tinggi, kerusuhan belum ada. Bobotoh vs pendukung persija belum seganas kini. Artinya apa dulu tidak ada perselisihan berkepanjangan apalagi keluar lapangan segala.  Kekalahan sebagai bagian utuh atas kompetisi belum menjadi sarana belajar.

Budaya kolonial pecah belah yang sukses ditiru antek-antek budaya rusuh

Entah sudah merdeka secara pemerintahan lebih dari 70 tahun namun masih juga bisa dicabik-cabik oleh perpecahan sektarian seperti ini. dulu suku, kini klub bola sedaerah pun bisa bentrok. Mau bersatu bagaimana? Mau membangun apa jika satu membuat satu merusak.

Kepentingan politis dan pengurus

Lebih banyak orang yang sama sekali tidak tahu sepak bola, pensiunan tentara, pensiunan politikus, orang yang tidak punya pekerjaan, tidak laku pada profesi lamanya. Mengurus sepak bola untuk mencari nafkah dan kehormatan. Mereka tidak sepenuh hati, orang gagal di tempat lain, tidak punya komitmen untuk sepak bola.

Banyak mengekor tanpa tahu esensi

Beberapa model dan budaya di sini, sepak bola hanya mengekor, seperti inisial di kaos, menggunakan perempuan cantik, mengekor klub dan timnas di Eropa, bukan yang fundamental.  Pola permainan pun menjiplak bukan sesuai dengan karakter dan kemampuan pemain. Trasfer pemain yang tidak rasional, tanpa mengingat kemampuan finansial

Bekerja pribadi bukan sistem

Bongkar pasang pemain dan pelatih bukan hal aneh di sini. Tidak heran prestasi bisa naik turun seperti ingus anak-anak. Kemarin juara besok hilang dari peredaran. Sistem dan industri yang mau dibangun namun dikelola dengan manajemen asal-asalan.

Hukum Positf diterapkan

Selama ini hukum sepak bola bak macan ompong pembekuan apalagi hanya denda yang berulang direvisi, tidak ada gunanya. Hukum positif sebagai pidana bukan tebang pilih, namun juga denda kerusakan yang ditanggung oleh pelaku dan klub. Efek jera bukan balas dendam. Sikap tanggung jawab yang lemah.

Pengurus dan jajarannya harus tegas

Pengurus PSSI, klub, suporter, dan pemerintah bahu membahu mendidik menjadi penonton modern yang bisa menjadi kekuatan klb bukan merusak dan merusak saja yang ada. Berapa kerugian yang mereka hasilkan apa sebanding dengan tiket misalnya atau dukungan? Belum menguntungkan secara ekonomis. Ketegasan pengurus dan seluruh pemangku kepentingan membantu industrialisasi sepak bola Indonesia

Tontonan dan tuntunan dari bola belum menjadi  hiburan yang menyenangkan

Beli tiket mahal, namun tim yang didukung belum menjanjikan, permainan masih begitu-begitu saja. Padahal membayar mahal untu hiburan, kalau jelek uang mana kembali. Logis, pelampisan jelas melakukan kekerasan dan perusakan.

Tayangan langsung makin membuat jurang makin dalam

Susah juga menggugat hal ini, semua soal ekonomi, uang yang berputar dari iklan. Soal membuat gemas pemirsa betapa jauh jurang yang ada tidak menjadi pertimbangan. Bagaimana tidak melihat cara main Messi dibandingkan dengan striker Persinga Ngawi, mereka menonton bayar, padahal di teve mereka gratis, jauh lebih baik, coba apa tidak emosi? Bayar jelek, gratis bagus lagi.

Kesadaran bersama semua butuh proses.

Proses panjang yang enggan diikuti. Mau baik dalam segala sesuatu secara instan. Coba bagaimana mengelola semua bisa bertindak bijaksana, melakukan bagian masing-masing, dan berbuat terbaik tanpa perlu mencampuraukan segala sesuatu.

Gambaran bola dan lalu lintas cerminan bangsa. Coba kurang apa liga kita, prestasi, jumlah pemain melimpah, berkualitas untuk timnas nol. Demikian juga politik, partai banyak, kualitas sama saja.  Lebih mudah dihasut dan disulut untuk rusuh daripada bersatu dan membangun.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun