Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Telegram dan Kedaulatan Bangsa

18 Juli 2017   16:29 Diperbarui: 19 Juli 2017   10:56 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pemerintah akhirnya menyatakan menutup layanan Telegram (tapi masih bisa), meskipun di tengah gencarnya pro dan kontra. Secara pribadi saya menggunakan, namun toh tidak juga mati jika itu tutup. Menyaksikan berseliwerannya yang pro dan kontra, baik itu orang biasa atau elit, beberapa hal bisa dilihat.

Kedaulatan Bangsa

Alasan yang paling kuat dikemukakan adalah penggunaan aplikasi ini oleh teroris, wajar jika ada yang mengatakan dengan keras kalau seperti membakar lumbung untuk membunuh tikus. Ini dalam arti tertentu bisa dipahami. Secara lebih luas tentu berlebihan. Apalagi episode lalu, menteri yang berkaitan menutup lima layanan dengan alasan pornografi. Bukan mendukung pornografi, namun kegentingan dan kejahatan daya rusaknya jelas pada aksi terorisme, meskipun daya rusak pornografi tidak kalah ganasnya. Proporsionalah menyikapi, apalagi elit itu, bukan hanya bilang ini itu, namun abai ketika melakukan, hanya karena kini yang memegang kendali bukan dukungannya. Terorisme sangat mengelisahkan, jangan kemudian menyalahkan polisi dan pemerintah ketika ada kejadian pembunuhan, peledakan, dan teror  terjadi di depan mata.

Kedaulatan kedua, soal surat yang tidak dibaca. Ini pemerintah lho, bangsa lho yang memberikan kepada mereka banyak pengguna, eh suratnya tidak dibaca. Luar biasa setelah menolak dan berdalih kemudian mengaku kalau memang tidak membaca peringatan yang sudah dikirim sekian lama. Hanya media yang berorientasi ekonomi saja berani mengabaikan bangsa dan negara lho, kalau dibiarkan terus menerus akan makin diremehkan bangsa ini. Surat pemerintah saja diabaikan lho. Bagaimana bangsa dan negara mau dihargai, lha rakyatnya sendiri saja seenak udelnya mengatakan ini itu, apalagi orang luar?

Satu Musuh Terlalu Banyak, Seribu Kawan Kurang

Baik sih untuk relasional dan pencitraan, tidak ada yang buruk dan salah, namun dalam kasus seperti bangsa ini perlu sikap tegas meskipun tidak populer. Memang tidak mudah memilih untuk tegas dengan risiko dihujat oleh anak negeri sendiri dan elit yang mengail di air keruh. Apalagi makin dekat dengan pemilu. Belum lagi pihak asing yang berkepentingan dengan bisnis dan pasar menggiurkan tentu tidak begitu saja merasa rela untuk diam saja. Kampanye buruk bisa saja terjadi.

Sikap Tegas sangat Perlu, Populer akan Mengikuti

Memang susah juga jika berpikir soal pemilihan. Menyenangkan semua orang juga tidak mungkin. Jika mengikuti pola pikir ini terus, jangan kaget kalau tidak akan pernah beranjak dari situ ke situ saja. Semua dihitung secara politis, padahal ini soal hukum, keamanan, dan masalah kedaulatan juga dipertaruhkan. Apakah itu populer? Jelas saja tidak, dan di sanalah perna seorang pemimpin di dalam bersikap. Apa yang harus dilakukan bukan apa yang sebaiknya dilakukan. Jika memilih yang sebaiknya, tentu akan memilih yang memopulerkan bukan yang menjamin keamanan.

Berpikir Jangka Panjang versus Jangka Pendek

Pilihan sulit tentu untuk menyatakan penutupan layanan Telegram. Kalau berpikir pendek dan sesaat, tentu pemerintah akan membiarkan saja, toh yang penting aku jadi lagi, soal aman dan tidak, banyak alasan bisa dikemukakan. Memilih yang sekejab, sejenak, atau yang berjangka panjang itu juga kualitas pemimpin. Bisa saja orang biasa menilai itu tidak akan berbahaya, namun pemimpin yang baik akan berpikir bahwa potensi bahaya perlu dihentikan terlebih dulu.

Dukungan dan Kepercayaan kepada Pengambil Kebijakan

Kritik itu bermuara pada solusi atau minimal ada dukungan, bangsa ini lebih banyak orang yang asal berbeda bukan kritik yang kontributif. Apa yang diambil pejabat yang berkepentingan tentu dengan pertimbangan masak, bukan asal semata, tentu berbeda orang yang kecewa, sering tidak berdasar fakta dan rasio namun rasa yang tidak berimbang. Hal ini yang sering membuat banyak masalah baru karena mengesampingkan rasio dan logika karena hanya mengikuti intuisi. Pada manusia dibekali akal budi untuk itu. Jika semata instingtif seperti kemarahan tidak proporsional, apa bedanya dengan hewan coba.

Ketegasan sangat diperlukan untuk menunjukkan bahwa bangsa ini berdaulat. Dikte dan semaunya pihak investor, produsen, dan yang berkepentingan semata ekonomi sudah saatnya dihentikan. Negara memiliki visi misi sendiri, jika apa yang dimaui asing, dimaui investor mentah-mentah dituruti, jangan heran jika hanya jadi pasar yang besar tanpa pernah maju dan beranjak dari ketergunan dan gumunan.

Bangsa ini kaya termasuk potensinya. Kembangkan bangsa sendiri, mandiri, mampu berbuat banyak, bukan semata hanya satu soal kemudian malah menyalahkan pemimpin sendiri. Salah satu tabiat kurang baik adalah ini, selalu membela yang berbau asing dan malah menilai ringan bangsa sendiri, termasuk kepada pemimpinnya.

Berikan waktu, toh pihak Telegram juga sudah mengatakan akan menaati apa yang disarankan pemerintah Indonesia, coba, mereka pun akhirnya tahu dan sadar bahwa mereka juga butuh pasar besar ini. Potensi ini jangan malah kalah.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun